Materi Sajian Kegiatan Penyegaran Keterampilan Berbahasa Indonesia untuk Reporter
Jakarta--Materi yang disajikan dalam kegiatan penyegaran keterampilan berbahasa Indonesia untuk reporter yang dilaksanakan selama tiga hari, sejak tanggal 17—19 November 2015 itu, antara lain: (1) Kebijakan Pembinaan Bahasa Indonesia di Media Massa oleh Prof. Dr. Gufran Ali Ibrahim, M.S. (Kepala Pusat Pembinaan); (2) Peningkatan Sikap Positif terhadap Bahasa Indonesia oleh Drs. Mustakim, M.Hum. (Kepala Bidang Pemasyarakatan); (3) Ejaan Bahasa Indonesia oleh Drs. Sriyanto, M.M., M.Pd. (Penyuluh Badan Bahasa); (4) Bentuk dan Pilihan Kata dalam Bahasa Indonesia oleh Dra. Meity Taqdir Qodratillah, M.Hum. (Penyuluh Badan Bahasa); (5) Bahasa Jurnalistik bagi Reporter oleh Ir. Octovianus (Radio Republik Indonesia/RRI); (6) Kalimat dalam Bahasa Indonesia oleh Drs. S.S.T. Wisnu Sasangka, M.Pd. (Penyuluh Badan Bahasa); dan (7) Paragraf dalam Bahasa Indonesia oleh Drs. Suladi, M.Pd. (Kepala Subbidang Penyuluhan).
Dalam materi sajiannya, Gufran Ali Ibrahim menjelaskan tentang kebijakan pembinaan bahasa Indonesia di media massa. Hal yang melatar belakangi diadakannya kegiatan tersebut adalah bahwa gagasan pemberdayaan bahasa Indonesia sebagai jati diri dan kebanggaan nasional, tidak hanya tanggung jawab Pemerintah semata, tetapi juga merupakan tanggung jawab segenap lapisan masyarakat, termasuk di dalamnya awak media massa atau pers. Para pengelola dan pekerja pers memegang peranan penting di dalam mewujudkan cita-cita kebahasaan sebagaimana termaktub di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Sumpah Pemuda 1928. Oleh karena itu, bahasa pers perlu mendapat perhatian khusus dalam usaha pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia. Perlu dipahami bahwa pemanfaatan bahasa pers secara spesifik tentu tidak lantas terlepas dari bahasa Indonesia baku. Bahasa Indonesia laras pers tetap merupakan bagian dari “keluarga besar” bahasa nasional.
Dari sudut pandang peran atau fungsinya di tengah kehidupan bermasyarakat, bahasa pers acapkali diperlakukan orang sebagai rujukan penting, bahkan “guru bahasa” bagi para penutur atau pengguna bahasa Indonesia, termasuk para penyelengga negara, pendidik, pegawai negeri sipil, dan generasi muda lainnya. Meskipun berkembang dengan karakter khas--singkat, padat, jelas, lugas, menarik, demokratis, dan progresif--bahasa pers tetap berinduk pada bahasa Indonesia di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara dan bahasa nasional. Hal itu berarti bahwa dalam pengembangannya, seprogresif apa pun dalam memperkenalkan kosakata baru (bahasa asing dan daerah), bahasa pers tetap harus menjadikan kaidah bahasa Indonesia sebagai rujukan utama, dan taat pada etika berbahasa Indonesia. Dengan kata lain, baik buruknya perkembangan bahasa Indonesia di tengah-tengah pergaulan hidup antarbangsa juga banyak ditentukan oleh awak media pers, seperti wartawan, pewara, penyiar, dan reporter. Gufran Ali menambahkan bahwa, kegiatan ini diharapkan dapat menjadi sarana bagi para reporter untuk menambah wawasan dan mengembangkan pengetahuan di bidang kebahasaan serta menumbuhkembangkan sikap positif terhadap bahasa Indonesia dalam penggunaannya di media massa.
Sementara itu, Mustakim dalam materi sajiannya tentang Peningkatan Sikap Positif terhadap Bahasa Indonesia, menjelaskan bahwa dalam sejarah perkembangan bahasa Indonesia peran para wartawan sangat besar, seperti terlihat dari film dokumenter sejarah bahasa Indonesia yang disajikan diawal materi yang disajikan olehnya. Dalam sejarahnya, bahasa Indonesia ada sebelum kita negara Indonesia ini merdeka, yaitu pada tahun 1938 ketika diadakan Kongres Bahasa Indonesia, tepatnya sepuluh tahun setelah diikrarkannya Sumpah Pemuda tahun 1928. Di Indonesia terdapat tiga jenis bahasa yang berkembang di masyarakat, yaitu antara lain bahasa indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Ketiga unsur bahasa inilah mempengaruhi kondisi perkembangan bahasa yang di masyarakat Indonesia. Pengaruh yang muncul dapat berupa pengaruh positif maupun negatif. Pengaruh yang positif tentu akan kita terima karena akan menambah kekayaan keragaman bahasa, namun jika pengaruhnya negatif maka akan kita tolak. Bahasa asing di Indonesia pengaruhnya sangat besar, kondisi yang kita lihat saat ini perkembangan bahasa indonesia memang secara tidak langsung dipengaruhi berkurangnya penutur bahasa di daerah, bukan berarti kurang perhatiannya pemerintah dalam melestarikan bahasa di daerah, tapi berdasarkan hasil penelitian hal tersebut dikarenakan penutur aslinya sendiri sudah banyak tidak menggunakan lagi bahasa di daerahnya, khususnya kaum muda di daerah tersebut. ”Hal ini sangat disayangkan, karena punahnya sebuah bahasa sama halnya dengan punahnya sebuah peradaban dan punahnya sebuah budaya, karena di dalam bahasa tersebut tersimpan nilai budaya peradaban suatu daerah” tegasnya. Bahasa daerah juga berfungsi sebagai pendukung sastra daerah dan juga sebagai pendukung dan pemerkaya bahasa nasional. Jika suatu bahasa daerah hanya dituturkan oleh golongan usia tua saja sementara golongan usia muda sudah tidak lagi menggunakannya maka bahasa daerah tersebut dapat dikategorikan rentan dari kepunahan. Di dalam suatu perundang-undangan terdapat suatu klausul bahwa bahasa asing yang terkait dengan sejarah dan keagamaan tidak perlu diterjemahkan.
Di kesempatan lain, Meity Taqdir Qodratillah dalam materi sajiannya tentang bentuk dan pilihan kata dalam bahasa Indonesia, menjelaskan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sangat mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia, khususnya perkembangan kosakata. Hal ini disebabkan karena sifat kedinamisan bahasa itu sendiri, sehingga perkembangan kosakata tidak akan pernah selesai selama iptek masih ada.
Sebelumnya, Sriyanto dalam materi sajiannya tentang ejaan bahasa Indonesia, mengumpamakan media bagaikan sebuah etalase pemakaian bahasa. Dalam fungsinya sebagai etalase, media dapat menjadi rujukan pemakaian bahasa yang standar dan dapat pula sebagai rujukan dalam pemakaian bahasa yang efektif. Namun pada sisi lain, media memiliki beragam kolom yang pemakaian bahasanya tidak dapat disamakan, dikarenakan keberagaman karakter masyarakat penggunanya. Di Indonesia menurut sejarahnya ejaan bahasa Indonesia ada tiga, yaitu, (1) Ejaan Van Ophuijsen, yaitu ejaan yang berlaku dari zaman Pemerintahan Belanda hingga sesudah Indonesia merdeka (1901—1947), ejaan ini terdapat dalam Kitab Logat Melajoe; (2) Ejaan Soewandi/Republik, ejaan ini berlaku sejak tahun 1947—1972. Nama Soewandi diambil dari nama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada era Presiden Soekarno dan (3) Ejaan yang Disempurnakan, ejaan ini diresmikan oleh Presiden Soeharto pada pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1972, sesuai Kepres. Nomor 57 Tahun 1972. Nama resminya Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Ejaan ini dikenal dengan singkatan EYD.
Di kesempatan yang berikutnya, Octovianus dalam materi sajiannya menerangkan bahwa bahasa jurnalistik adalah bahasa atau alat yang dipakai oleh para jurnalis dalam menjalankan tugas jurnalistiknya sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik, seperti 5W+1H untuk memproduksi Berita (News), maka bahasa Indonesia yang digunakan adalah kalimat aktif dan langsung. Sedangkan Laporan (reportase) karena memiliki format Laporan kronologi kejadian atau peristiwa, maka bahasa yang digunakan selain kalimat aktif, juga bisa menggunakan gaya bahasa, kemudian di dalam paragrafnya dapat mengadopsi aspek kohesi dan koheren. Hal tersebut dikarenakan dalam sebuah Laporan (reportase) durasi yang disediakan cukup panjang dibandingkan dengan Berita (News) cenderung berdurasi pendek yaitu sekitar 1 menit.
Octovianus menambahkan, bahwa mengacu pada media yang digunakan untuk saluran produksi jurnalistik, maka bahasa yang dipakai dibedakan menjadi 2, yaitu bahasa tulis dan bahasa lisan. Meskipun dalam praktek jurnalistiknya ketika sebuah laporan disampaikan oleh reporter secara lisan, ada struktur bahasa/gramatikal yang menjadi tidak sempurna. “Walau tidak sempurna, namun jika ditinjau dari sisi tujuan objektif bahasa, yakni komunikatif dan komprehensif, maka pesannya sampai. Karena komprehensif mengandung pengertian apa yang disampaikan tersampaikan” terang Octovianus. (nav/mla)