Pemertahanan Bahasa Ibu : Kasus Bahasa Sunda

Pemertahanan Bahasa Ibu : Kasus Bahasa Sunda

UNESCO telah menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya bahasa ibu untuk terus diperingati dalam pengertian "dipertahankan" pemakaiannya dan "diberdayakan" fungsinya. Dalam literatur sosiolinguistik makro, kajian pemertahanan bahasa lazimnya tertuju pada bahasa ibu dalam konteks bilingual, yang dalam hal ini terdapat bahasa ibu (minor language) atau bahasa etnis bersehadapan dengan bahasa utama (major language), seperti bahasa nasional. Hal ini relevan dengan konteks Indonesia, yang di dalamnya terdapat sekitar 700 bahasa etnis, dengan jumlah penutur yang sangat beragam dari puluhan ribu sampai puluhan juta. Sejak tahun 1951, UNESCO telah merekomendasikan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan. Hal itu merupakan langkah konkret pemertahanan dan pemberdayaan bahasa ibu. Pemertahanan bahasa ibu (language maintenance) lazim didefinisikan sebagai upaya yang disengaja, antara lain, untuk (1) mewujudkan diversitas kultural, (2) memelihara identitas etnis, (3) memungkinkan adaptabilitas sosial, (4) secara psikologis menambah rasa aman bagi anak, dan (5) meningkatkan kepekaan linguistis (Crystal, 1997). Kelima tujuan di atas satu sama lain saling terkait dalam konteks kebudayaan. Karena itu, pemberdayaan bahasa ibu seyogianya merupakan bagian dari strategi kebudayaan. Perencanaan bahasa apabila diartikan sekadar perencanaan kebijakan (policy planning), perencanaan korpus (corpus planning), dan perencanaan pembelajaran (acquisition planning), tidak cukup komprehensif dan operasional untuk mencapai lima tujuan di atas. Mengapa Orientasi Kebudayaan? Revitalisasi bahasa ibu seyogianya ditempatkan sebagai bagian dari strategi kebudayaan dengan sejumlah alasan sebagai berikut. Pertama, nilai bahasa terletak pada makna yang disimbolkan oleh bahasa. Bahasa Inggris, misalnya, dianggap simbol modernisme dan teknologi, sementara itu bahasa Arab dianggap sebagai simbol agama Islam. Dua contoh ini menguatkan asumsi bahwa bahasa adalah kendaraan (baca: mengusung) kebudayaan. Kedua, dalam konteks Indonesia rujukan budaya nasional pada mulanya tiada lain adalah budaya-budaya etnis yang diklaim-khususnya oleh para birokrat pemerintah atau sekelompok elitis dalam masyarakat Indonesia-sebagai budaya nasional. Kita tidak boleh melupakan bahwa negara kesatuan Indonesia ini terbentuk atas kesepakatan kelompok-kelompok etnis untuk berhimpun diri dalam sebuah organisasi yang disebut negara kesatuan. Ketiga, pada umumnya orang asing yang mempelajari bahasa Indonesia dan bahasa daerah lebih banyak didasari oleh minat mempelajari budaya daripada bahasanya. Demikian pula pada umumnya para turis yang datang ke Indonesia-juga ke negara lain--terpanggil untuk melihat budaya Indonesia bukan untuk mempelajari bahasanya. Ketiga hal di atas tampaknya kurang disadari pemerintah-khususnya pemerintahan Orde Baru. Dengan berdalih stabilitas politik dan pembangunan nasional, hak-hak kebudayaan etnis seringkali dilanggar sehingga kebudayaan etnis menjadi terpinggirkan. Demikianlah bangsa ini menjadi asing terhadap budaya etnisnya sendiri, sementara itu budaya pop global menerjang generasi muda melalui media tanpa henti. Langkah Strategi Kebudayaan Sunda Sebagai suku bangsa terbesar kedua setelah Jawa, etnis Sunda dengan jumlah penutur lebih dari 21 juta di Jawa Barat dan Banten seyogianya mampu melakukan revitalisasi bahasa Sunda. Bandingkan dengan Belanda dengan jumlah penduduk sekitar 15 juta orang, toh bahasa Belanda memiliki vitalitas yang tinggi. Bila bahasa Sunda dan bahasa daerah lainnya sekarang ini kurang diminati para penuturnya sendiri, kita melihat lemahnya kesetiaan terhadap bahasa (language loyalty) dan kita mencurigai adanya kekeliruan dalam strategi kebudayaan dan pemertahanan bahasanya. Untuk memfungsikan bahasa Sunda secara maksimal, sudah ditempuh beberapa langkah sebagai bagian dari perencanaan bahasa Sunda, antara lain sebagai berikut (diurut dari yang terkini). Pertama, pada tataran kebijakan makro, sudah terbit tiga peraturan daerah (Perda), yaitu: (1) Perda Nomor 5 Tahun 2003 tentang pemeliharaan bahasa, sastra dan aksara daerah, (2) Perda Nomor 6 Tahun 2003 tentang pemeliharaan kesenian, dan (3) Perda Nomor 7 Tahun 2003 tentang pengelolaan kepurbakalaan, kesejarahan, nilai tradisional dan museum. Tiga serangkai perda di atas ditandatangani Gubernur Jawa Barat pada 13 Januari 2003 dan merupakan fondasi kebijakan perencanaan bahasa yang menempatkan bahasa daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari strategi atau politik kebudayaan daerah. Kedua, kini sedang dalam proses pembentukan lembaga yang (sementara) diberi nama "Kalang Budaya Jawa Barat" yang berfungsi sebagai think tank pemerintah daerah dalam bidang kebudayaan. Lembaga ini beranggotakan pakar-pakar kebudayaan yang pemikirannya diharapkan menjadi rujukan pemerintah dan masyarakat dalam pembuatan kebijakan tentang kebudayaan di Jawa Barat. Diminta atau tidak lembaga ini memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan fatwa-fatwa kebudayaan , baik kepada pemerintah maupun masyarakat luas. Ketiga, telah berdiri Pusat Studi Sunda sebagai realisasi dari rekomendasi Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS I). Pusat ini berkonsentrasi pada kajian-kajian interdisipliner seputar budaya Sunda. Pusat ini secara berkala menyelenggarakan diskusi kebudayaan, penerbitan, dan merencanakan menerbitkan jurnal Sunda Lana dengan target pembaca para ahli kebudayaan dalam dan luar negeri. Keempat, telah diselenggarakan Konferensi Internasional Budaya Sunda ke-1 (KIBS) pada 22-25 Agustus 2001 di Bandung dengan tema "Pewarisan Budaya Sunda di Tengah Arus Globalisasi." KIBS dihadiri oleh 634 peserta dan menyajikan 75 makalah dari dalam dan luar negeri serta telah menghasilkan rumusan sebagai rekomendasi strategi kebudayaan dalam bidang-bidang berikut: (1) sastra dan bahasa, (2) sejarah, arkeologi, dan filologi, (3) agama, kepercayaan dan pandangan hidup, (4) ekonomi, kemasyarakatan, dan politik, (5) kesenian, dan (6) lingkungan hidup, arsitektur, makanan, dan pakaian. Kelima, sudah berdiri beberapa penerbit yang khusus menerbitkan buku-buku bahasa dan sastra Sunda, seperti penerbit Kiblat Buku Utama dan Geger Sunten. Kiblat Buku Utama bersama Pusat Studi Sunda juga secara reguler menyelenggarakan diskusi sastra Sunda pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya. Keenam, sudah terbit Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi (Pustaka Jaya, 2000) setebal xv + 719 halaman. Ini merupakan ensiklopedi budaya etnis terbesar yang pernah terbit di Indonesia. Ihwal ensiklopedi ini, Dr. H. Chambert-Loir (EFEO, Paris) mengatakan sebagai berikut: "... meliputi segala hal yang bertalian dengan Sunda (termasuk subkultur Cirebon dan Jakarta) dalam arti yang luas, tentang sejarah, sastra, tradisi rakyat, religi, flora... Buku seperti ini sangat diperlukan di Indonesia sekarang, ketika setelah 50 tahun merdeka, mempertanyakan kembali integritas nasionalnya. Pekerjaan besar yang hebat telah dilakukan mengenai kebudayaan daerah, diharapkan Ensiklopedi Sunda akan diikuti oleh endiklopedi tentang suku bangsa lain. Ensiklopedi Sunda akan menjadi contoh yang baik sekali." Ketujuh, sudah berdiri Yayasan Kebudayaan "Rancage" yang diketuai Prof. Ajip Rosidi. Lembaga ini memberikan hadiah Sastra "Rancage" setiap tahun sejak 1989 kepada para sastrawan yang menulis dalam bahasa-bahasa daerah. Mula-mula hadiah itu untuk satrawan bahasa Sunda saja, tetapi sejak 1994 juga diberikan kepada sastrawan bahasa Jawa, dan sejak 1998 untuk sastrawan bahasa Sunda, Jawa, dan Bali. Kedelapan, setiap tahun Yayasan Daya Budaya Pasundan memberikan Anugerah Seni R.T.A. Soenarja, Hadiah Jurnalistik R.H. Muhamad Koerdie, Hadiah Sastra D.K. Ardiwinata, dan Hadiah Pangajaran Basa R. Soeria di Radja. Sementara itu, Universitas Pasundan menyelenggarakan perlombaan penulisan esai tentang budaya Sunda. Nama-nama hadiah itu diambil dari nama-nama tokoh Sunda yang telah berjasa dalam memajukan seni, jurnalisme, sastra, dan pengajaran bahasa Sunda. Kesembilan, pada tahun 1957 terbit majalah hiburan dan kebudayaan Mangle dan terus bertahan sampai hari ini. Majalah yang isinya sebagian besar berupa cerita pendek, cerita bersambung, sajak, dan artikel berbagai isu kebudayaan ini telah berjasa membesarkan pengarang-pengarang Sunda, antara lain Rustandi Kartakusuma, Yus Rusyana, Saini K.M., Wahyu Wibisana, Abdullah Mustappa, dan Aam Amilia. Kesepuluh, pada tahun 1952 berdiri Lembaga Basa jeung Sastra Sunda (LBSS) yang sejak 1989 sampai kini memberikan hadiah sastra. LBSS menyelenggarakan Kongres Basa Sunda VII pada 10--12 November 2001 di Garut. LBSS bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat LBSS telah menerbitkan Kamus Indonesia Sunda dan Kamus Sunda Indonesia. Kesepuluh langkah di atas adalah contoh konkret revitalisasi budaya Sunda yang diharapkan dengan sendirinya meningkatkan vitalitas bahasa Sunda. Berikut ini dikutip Bab II dari Perda No 5 Tahun 2003 tentang pemeliharaan bahasa, sastra, dan aksara daerah. Pasal 2 Tujuan pemeliharaan bahasa, sastra, dan aksara daerah adalah: a.Memantapkan keberadaan dan kesinambungan penggunaan bahasa, sastra dan aksara daerah sehingga menjadi faktor pendukung bagi tumbuhnya jati diri dan kebanggaan daerah; b.Memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa, sastra, dan aksara daerah; c.Melindungi, mengembangkan, memberdayakan, dan memanfaatkan bahasa, sastra dan aksara daerah yang merupakan unsur utama kebudayaan daerah yang pada gilirannya menunjang kebudayaan nasional; d.Meningkatkan mutu penggunaan potensi bahasa, sastra dan aksara daerah. Pasal 3 Sasaran pemeliharaan bahasa, sastra, dan aksara daerah adalah: a.terwujudnya kurikulum pendidikan bahasa, sastra, dan aksara daerah di sekolah dan kurikulum pendidikan di luar sekolah; b.terwujudnya kehidupan berbahasa daerah yang lebih baik dan bermutu; c.terwujudnya apresiasi masyarakat terhadap bahasa, sastra, dan aksara daerah; d.terwujudnya peran serta masyarakat dalam upaya pemeliharaan bahasa, sastra, dan aksara daerah. Strategi Sosialisasi Bagaimanapun hebatnya sebuah peraturan, yang jauh lebih penting adalah realisasi peraturan itu. Perencanaan bahasa seperti digagas Noss (1994) terdiri atas tiga langkah besar, yaitu pembuatan kebijakan (policy making), implementasi, dan evaluasi. Lahirnya Peraturan Daerah No 5 merupakan tahap awal dari pembuatan kebijakan. Peraturan daerah seyogianya segera diikuti dengan pembentukan tim perencana bahasa daerah yang beranggotakan para pakar terkait seperti ahli perencanaan bahasa, linguistik, sastra, seni, pengajaran bahasa, penerbitan, naskah, dan kebudayaan. Tim ini bertugas menyusun petunjuk teknis pelaksanaan peraturan daerah termasuk tata cara evaluasinya. Petunjuk teknis ini hendaknya disosilisasikan secara bertahap kepada berbagai lembaga, seperti perguruan tinggi, DPRD Tingkat II, dinas-dinas, lembaga penerbitan, sekolah-sekolah serta petugas kebudayaan dan sosial di lapangan. Pada tingkat nasional sudah ada Pusat Bahasa sebagai lembaga yang mendapat mandat dari pemerintah untuk melakukan perencanaan bahasa. Pada tingkat provinsi belum ada lembaga serupa yang memiliki kewenangan, padahal Peraturan Daerah Nomor 5 tersebut memerlukan tindak lanjut, yakni tahapan implementasi dan evaluasi yang mesti dikoordinasikan dengan baik. Memang sekarang ini sudah ada balai-balai bahasa di beberapa ibu kota provinsi di bawah koordinasi Pusat Bahasa di Jakarta. Namun, Balai Bahasa ini belum siap berkoordinasi dengan berbagai lembaga terkait, khususnya pemerintah daerah, DPRD Tingkat II, Disbudpar, dan sejenisnya. Perencanaan bahasa daerah seyogianya dilakukan secara profesional dan institusional dengan mempertimbangkan hal-hal berikut: a.Revitalisasi bahasa daerah dilakukan melalui atau sebagai konsekuensi logis dari revitalisasi kebudayaan daerah. b.Revitalisasi bahasa daerah dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak seperti media massa, perguruan tinggi, sekolah, lingkung seni, organisasi sosial, dan sebagainya secara sistemik dengan target sosialisasi kelompok yang terfokus. c.Pengajaran bahasa daerah lebih difokuskan kepada kefasihan (fluency) berbahasa bukannya ketepatan berbahasa (accuracy), yakni agar bahasa daerah digunakan secara diglosik dalam masyarakat bilingual atau bahkan mutilingual. d.Pengajaran bahasa daerah di sekolah lebih mengutamakan pengenalan sastra daripada linguistik. e.Di sekolah-sekolah dan bahkan perguruan tinggi apresiasi dan kajian kritis terhadap karya sastra daerah seyogianya dilakukan sebelum mengapresiasi dan melakukan kajian kritis terhadap karya sastra Indonesia dan asing. Manusia modern berkeyakinan bahwa ia mampu merencanakan masa depan, bukan hanya perilaku diri sendiri tapi juga pola masyarakat dan budayanya. Karena kebudayaan etnis dibangun melalui bahasa etnis, maka bahasa etnis harus direkayasa, yakni dipertahankan dan diberdayakan melalui strategi kebudayaan sebagai upaya revitalisasi jati diri untuk menunjang kebudayaan nasional. Rujukan Alwasilah, A. Chaedar. (2001). KIBS: Upaya Revitalisasi Jatidiri. Pidato Ketua Panitia Penyelenggara Konferensi Internasional Budaya Sunda. Bandung, 22-25 Agustus 2001. Crystal, David. (1997). The Cambridge Encyclopedia of Language. Second edition. Ensiklopedia Budaya Sunda. (2001). Jakarta: Pustaka Jaya. Hassan, Abdullah. Ed. (1994). Language Planning in Southeast Asia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Noss, Richard B. (1994). "The Unique Context of Language Planning in Southeast Asia." Dalam Hassan, ed.1-51. Rubin, Joan and Bjorn H. Jernudd. Eds. (1971). Can Language Be Planned? Sociolinguistic Theory and Practice for Developing Nations. Honolulu: The University Press of Hawaii

Admin Badan Bahasa

-

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa