Trisno Sumardjo

Trisno Sumardjo lahir di Tarik, Surabaya, pada tanggal 6 Desember 1916. Ayahnya, Mohamad As’ari, seorang guru bantu. Profesi ayahnya inilah yang memungkinkan Trsino Sumardjo memiliki latar keluarga yang berkesadaran pendidikan. Lingkungan keluarga inti sangat mewarnai karya-karya Trisno Sumardjo. Bagaimana gambaran singkat keluarga inti Trisno Sumardjo? Trisno Sumardjo menikahi gadis Sukartinah, kelahiran Surabaya pada tanggal 23 Juni 1924, di Madiun pada tanggal 18 Maret 1951. Selanjutnya istrinya dia boyong ke Solo. Putra pertama mereka, perempuan, lahir di Jakarta pada tanggal 15 April 1955 dan diberi nama Lestari. Peristiwa menunggu kelahiran putra pertamanya ini begitu memukau batin Trisno Sumardjo. Peristiwa ini dengan baik direkam Trsino Sumardjo dalam salah satu cerpennya. Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 15 Juni 1956, lahirlah putra yang kedua yang diberi nama Budi Santosa. Beruntunglah Trisno Sumardjo mempunyai pendamping hidup yang sangat memahami dan dapat menerima pribadinya. Ia dikenal pribadi yang keras memegang prrnsip-prinsip hidupnya. Begitu kerasnya dia memegang prinsip bidupnya itu sehingga sering menimbulkan kesan kaku di antara temannya. Dalam hidup Trisno Sumardjo, kesenian adalah segala-galanya. Kesenian bukanlah alat untuk mengejar materi atau mencari keharuman nama. Gambaran pribadi Trisno Sumardjo macam ini dengan baiknya mewujud dalam tokoh Asran. tokoh utama dalam cerpennya yang paling kuat yang berjudul “Asran”. Bahwa Trisno Sumardjo berprinsip kesenian bukanlah alat untuk mengejar materi dengan jelas terlihat dalam kehidupan rumah tangganya. Kehidupan materill rumah tangganya sederhana. Ketika meninggal dia tinggal di rumah dinas di kompleks Taman Ismail Marzuki dan tak mewariskan rumah pribadi kepada istri dan anaknya. Sepeninggal Trisno Sumardjo, keluarganya terus tinggal di kompleks Taman Ismail Marzuki sampai meninggal dunia. Trisno Sumardjo meninggal pada tanggal 21 April 1969 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo kanena serangan jantung berat. Ia beristirahat untuk selamanya di dekat Chairil Anwar, di Pekuburan Karet, Jakarta. Kenangan para sahabat atas kepergiannya bagai kenangan Horatio atas kepergian Hamlet yang terlukis pada sajak Trisno Sumardjo berjudul “Horatio Pada Ajal Hamlet”. Tahun 1937 Trisno Sumardjo menyelesaikan pendidikannya di AMS II (Barat Klasik) di Yogyakarta. Pada zaman kolonial tahun 30-an orang yang berhasil menamatkan AMS termasuk golongan berpendidikan sangat baik. Trisno Sumardjo, bersama-sama dengan H.B. Jassin, mendapatkan Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah Republik Indonesia bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional pada tanggal 20 Mei 1969. Penghargaan ini diberikan kepada Trisno Sumardjo atas jasa-jasanya dalam mengembangkan kebudayaan Indonesia. Ketiga informasi di atas dapat mencerminkan sumbangan, kekuatan, dan kedudukan Trisno Sumardjo dalam sastra Indonesia. Mempelajari dan memahami sumbangan serta karya sastra peninggalan pengarang yang punya kedudukan kuat seperti ini pasti ada manfaatnya. Seorang penerjemah karya sastra yang tangguh minimal memiliki dua modal, yaitu bakat seni (dalam hal ini terutama seni sastra) dan kemampuan penguasaan bahasa sumber. Modal pertama, yaitu khusus seni sastra jelas dimiliki oleh Trisno Sumardjo. Hal ini dapat dibuktikan dengan lahirnya sejumlah karya sastra dari tangannya. Modal yang kedua, yaitu kemampuan penguasaan bahasa sumber, juga dimiliki oleh Trisno Sumardjo. Karya-karya sastra asing yang diterjemahkan Trisno Sumardjo berbahasa sumber bahasa Inggris. Trisno Sumardjo dengan baik menguasai bahasa Inggris termasuk ragam klasiknya. Kemampuan bahasa Inggris Thsno Sumardjo yang baik ini selain beralas bakat juga didukung oleh pendidikan formalnya. Melihat kedua modal ini tidak mengherankan kalau Trisno Sumardjo mampu meraih predikat penerjemah ulung. Begitu bagus dan banyak karya dramawan agung Inggris Shakespeare yang dia terjemahkan sehingga Trisno Sumardjo pernah diberi gelar “Spesialis Shakespeare”. Selepas AMS, Trisno Sumardjo langsung bekerja. Tahun 1938-1942 ia mengajar pada sebuah sekolah di Jember, Jawa Timur. Pilihan pertama atas jenis pekerjaan ini tak dapat dipisahkan dari pekerjaan ayahnya yang juga seorang guru. Rupanya Trisno Sumardjo sepemikiran dengan ayahnya bahwa guru adalah profesi yang mulia, terlebih pada zaman penjajahan. Profesi guru biasanya juga diidentikan dengan kejujuran dan kesederhanaan. Pilihan awal profesi yang berciri kesederhanaan ini akan terlihat nanti mewarnai hidup Trisno Sumardjo selanjutnya dan mewarnai karya-karya yang diciptakannya. Ketika Jepang masuk, Trisno Sumardjo melepaskan tugas mengajarnya di Jember. Selanjutnya ia pindah ke Madiun dan bekerja pada Jawatan Kereta Api mulai tahun 1942 sampai dengan 1946. Periode Madiun merupakan periode yang penting dalam perjalanan kreativitas Trisno Sumardjo. Pada tahun 1946, tahun terakhir dia di Madiun, mulai muncul karangan-karangannya. Kreativitasnya bertambah subur setelah dia pindah ke Solo pada tahun 1947. Dalam perjalanan Kreativitas atau kehidupan kesenian Trisno Sumardjo, kalau periode Madiun dapat disebut periode awal, periode Solo disebut periode pemantapan karena ketika tinggal di Solo itulah Trisno Sumardjo mulai sepenuhnya mencurahkan hidupnya untuk kesenian. Ia tidak lagi bekerja di bidang lain seperti mengajar ketika di Jember atau bekerja di Jawatan Kereta Api seperti di Madiun. Di bidang keredaksian dapat dicatat sangat banyak pengalaman Trisno Sumardjo. Ia pernah memimpin majalah Seniman di Solo pada tahun 1947-1948. Selanjutnya ia juga pernah duduk sebagai redaksi majalah Indonesia tahun 1950-1952, majalah Seni tahun 1954, dan majalah Gaya tahun 1968. Di bidang pemikiran atau pengembangan kebudayaan Trisno Sumardjo telah banyak berbuat. Beberapa kegiatan yang berkaitan dengan hal itu, antara lain, dapat disebutkan sebagai berikut. Pada tahun 1950 Ia menjadi salah seorang pemrasaran dalam Konferensi Kebudayaan di Jakarta. Tahun 1957 Ia menjadi salah seorang pemrasaran lagi dalam Kongres Kebudayaan yang diselenggarakan oleh BMKN di Denpasar. Pada tahun 1963 ia terlibat dalam peristiwa yang sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan kebudayaan Indonesia seterusnya. Peristiwa itu adalah lahirnya Manifes Kebudayaan pada 17 Agustus 1963 dan Trisno Surnardjo adalah seorang pencetus utamanya. Selanjutnya pada tahun 1964 ia menjadi pemimpin umum Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia di Jakarta. Puncak perjuangannya yang hasilnya dapat dinikmati masyarakat, sampai sekarang khususnya masyanakat ibu kota, adalah berdirinya Taman Ismail Marzuki. Dia adalah seorang perintis utama berdirinya pusat kesernan itu. Keperintisan Trisno Sumardjo dalam pendirian pusat kesenian itu mengundang tanggung jawab lebih jauh. Gubernur Jakarta Ali Sadikin melihat keperintisannya serta kemampuannya untuk mengelola sebuah pusat kesenian. Oleh karena itu, pada tanggal 19 Juni 1968 oleh Gubernur Jakarta ia diangkat menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta dan kemudian terpilih pula sebagai Ketua Badan Pengurus Harian yang mengelola TIM secara langsung. Tanggung jawab ini dipegangnya sampai akhir hayatnya. Kemampuan Trisno Sumardjo memimpin pusat kesenian ini, yang pada dasarnya adalah kemampuan beroraganisasi, telah disemainya sejak dini. Di samping ia pernah memimpin penerbitan majalah, ia juga banyak berpengalaman menjalankan roda organisasi. Tahun 1950--1955 Trisno Sumardjo pernah menjadi sekretaris Lembaga Kebudayaan Indonesia di Jakarta. Sejak tahun 1956 sampai akhir hayatnya tahun 1969 berkali-kali ia terpilih sebagai sekretaris umum Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional di Jakarta. Pengalaman Tnsno Sumardjo berorganisasi itu juga diperkaya dengan perjalanan ke luar negeri. Permulaan tahun 1952 ia meninjau Amerika Serikat dan Eropa Barat selama enam bulan dengan beasiswa Visittorship Rockefeller. Tahun 1957 Ia mengunjungi Republik Rakyat Cina sebagai ketua delegasi sastrawan. Tahun 1961 ia mengunjungi Amerika Serikat lagi atas undangan State Departemen. “Karya-karya Trisno Sumardjo mempunyai daya tarik dan daya pikat tertentu, yaitu kesederhanaannya”, kata pengamat sastra A. Teeuw (1980). Biografi singkat ini disusun untuk mendorong dan mengantarkan para pembaca menggali sendiri nilai-nilai kemanusiaan dan pengalaman hidup yang terkandung di dalam karya sastra warisan Trisno Sumardjo, baik karya-karya asli maupun karya-karya terjemahannya. Menikmati karya-karya terjemahan Trisno Sumardjo, terutama karya Shakespeare, membuka kesempatan bagi pembaca Indonesia untuk memperluas wawasannya atas budaya dunia. Menikmati karya-karya aslinya dapat mengantarkan para pembaca untuk lebih mengarifi kehidupan serta memahami kesederhanaan, keteguhan sikap, dan pergaulan hidup habishabisan Trisno Sumardjo di dalam pengembangan kebudayaan indonesia dapat meyegarkan kembali komitmen para pengagumnya atas nilai-nilai pengabdian dan pengorbanan. Ada beberapa kumpulan sajak dan cerpennya yang sudah terbit. Sejumlah contoh dapat disebutkan, misalnya Daun Kering (kumpulan cerpen), Balai Pustaka, 1962 dan Silhuet (kumpulan sajak), Yayasan UNIK, 1965. Begitulah gambaran singkat sosok pribadi Trisno Sumardjo sebagai pengarang. Gambaran itu akan semakin lengkap apabila kita dapat menyelami selurub karya aslinya. Berikut ini karya-kanya Trisno Sumardjo akan didaftarkan menurut jenisnya. KARYA: Karya Trisno Sumárdjo a. Puisi 1) Silhuet (kumpulan). Jakarta: Yayasan UNIK 1965. 2) Kata Hati dan Perbuatan. Jakarta: Balai Pustaka, 1952. b. Cerpen (1) Katahati dan Perbuatan, kumpulan cerpen, drama, dan sajak, Balai Pustaka, 1952. (2) Rumah Raja (kumpulan). Jakarta: Pembangunan, 1957. (3) Daun Kering. Jakarta: Balai Pustaka, 1962. (4) Penghuni Pohon. Jakarta: Balai Pustaka 1963. (5) Keranda Ibu. Jakarta: Balai Pustaka, 1963. (6) Wajah-wajah yang Berubah. Jakarta: Balai Pustaka, 1968. (7) Pak Iman Intelek Istmewa. c. Drama Tjita Teruna. Jakarta: Balai Pustaka, 1953 d. Terjemahan (1) Saudagar Venezia. Jakarta: Pembangunan, 1950. (karya William Shakespeare). (2) Hamlet, Pangeran Denmark. Jakarta: Pembangunan; 1950. (karya William Shakespeare). (3) Macbeth (karya William Shakespeare). Jakarta: Pembangunan 1952. (4) Manasuka (karya William Shakespeare). Jakarta: Balai Pustaka, 1952. (5) Prahara (karya William Shakespeare). Jakarta: Bahai Pustaka, 1952. (6) Impian di Tengah Musim (karya William Shakespeare). Jakarta: Balai Pustaka, 1953. (7) Dongeng-Dongeng Perumpamaan (karya Jean De La Foutaine). Jakarta: Balal Pustaka, 1959. (8) Dokter Zhivago (karya Boris Pasternak, Rusia). Jakarta: Djambatan, 1960. (9) Romeo dan Julia (karya William Shakespeare). Jakarta: Badan Musyawarah dan Kebudayaan Nasional, 1955, Cetakan II, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1960. (10) Maut dan Misteri (karya Edgar Allan Poe). Jakarta: Djambatan, 1969. e. Terjemahan yang Belum Diterbitkan (1) “Antonius dan Cleopatra” (karya William Shakespeare). 1963. (2) “Raja Lear” (karya William Shakespeare). (3) “Othelo” (karya William Shakespeare). (4) “Venus dan Adonis’ (epos bersajak).

Admin Badan Bahasa

-

Trisno Sumardjo

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa