Rosihan Anwar
Rosihan Anwar lahir tanggal 10 Mei 1922, di Kelurahan Kubang Nan Duo, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Ia adalah putra seorang Ambtenaar Binnelands Bestuur, pamong praja, yang bernama Gelar Maharaja Soetan. Rosihan Anwar menikah dengan Siti Zuraida Sanawi (Ida Sanawi), pada tanggal 25 April 1947, di Yogyakarta. Ida Sanawi, gadis Betawi Asli, adalah adik kandung Sonia Hermine Sanawi, istri Usmar Ismail. Usmar Ismail, tokoh teater dan film nasional itu, adalah sahabat Rosihan. Perkenalan anatara Rosihan dan Ida terjadi ketika mereka sama-sama bekerja di surat kabar Asia Raya, Rosihan adalah reporter dan Ida adalah sekretaris pemimpin redaksi. Rosihan Anwar adalah sastrawan Angkatan ’45, istilah “Angkatan ‘45” dalam kesusastraan berasal dari Rosihan. Kesastrawanannya dimulai dengan memublikasikan puisi-puisinya di berbagai media massa pada waktu itu, antara lain, di surat kabar Asia Raya, Merdeka, dan majalah mingguan politik dan budaya Siasat. Beberpa puisinya dimasukkan H.B. Jassin ke dalam bukunya Kesusastraan Indonesia di masa Jepang (1948). Rosihan juga menerjemahkan puisi-puisi asing ke dalam bahasa Indonesia. Di antaranya, puisi yang ditulis oleh pahlawan kemerdekaan Filipina, Yose Rizal, yang berjudul “Mi Ultimo Adios” (salamku yang terakhir), diterjemahkan Rosihan menjadi “Selamat Tinggal”. Walaupun bukan terjemahan langsung, puisi terjemahan itu dinilai para kritikus, antara lain Ramadhan K.H., sebagai puisi yang berhasil. Penelaahan Rosihan atas riwayat pahlawan Yose Rizal serta daya upaya Rosihan memperkenalkannya kepada masyarakat Indonesia membuat masyarakat Filipina senang. Oleh karena itu, pada tahun 1961, dalam rangka memperingati hari ulang tahun pahlawan itu, pemerintah Filipina mengundang Rosihan Anwar ke negaranya. “Selamat Tinggal” (“Mi Ultimo Adios” dalam bahasa Indonesia) pun berkumandang, dideklamasikan oleh Rosihan, pada acara itu. Terjemahan rosihan yang lain adalah sebuah puisi dari Henriette Roland Holts, penyair Belanda yang sangat terkenal di Indonesia pada tahun 1940-an. Puisi yang diterjemahkan oleh Rosihan itu, kemudian, dipasang menghiasi tugu batu pualam Taman Makam Pahlawan Taruna, Tangerang. Rosihan dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat Islam. Jadi, Selain bersekolah di HIS (untuk pendidikan formal), ia juga wajib belajar di Madrasah, dan sore harinya ke surau. Keadaan itu, ternyata, belum dapat dijadikan jaminan bahwa kehidupan beragamanya akan langgeng. Pada waktu bersekolah di AMS Yogyakarta, karena beberapa temannya (yang juga Islam) makan babi, ia pun ikut makan babi. Padahal, dalam Islam, jelas, makan babi itu haram. Akan tetapi, ia tidak peduli. Bahkan, pada zaman Jepang, ia sudah tidak berpuasa dan tidak salat lagi. Ia juga tidak berkeberatan dijuluki kafirun. Pada suatu hari di tahun 1957 (saat Rosihan masih menjabat sebagai pemimpin redaksi Pedoman), dalam sebuah resepsi, Rosihan berseloroh kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Kafrawi, “Kafrawi, you kapan memberi saya kesempatan naik haji?” Sebenarnya, ia hanya bercanda. Akan tetapi, Kafrawi menanggapinya serius. Kafrawi memberinya kesempatan dan menugasinya sebagai pimpinan rombongan “haji terbang”. Sepuluh hari kemudian, Ia pun benar-benar berangkat ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Sekembali dari Mekkah itulah, kehidupan rohani Rosihan berubah. Ia mulai menulis hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam. Setiap hari Jumat, ia menulis Tajuk Rencana di harian Pedoman. Tajuk itu berjudul “Renungan Wak Haji”. Di dalam tajuk itu terdapat percakapan antara Wak Haji dan Haji Waang (tokoh Haji Waang adalah dirinya). KARYA: a. Puisi 1. “keyakinan” 2. “Mari Kumandangkan Indonesia Raya” 3. “Manusia Baru” 4. “Pulang Berjasa” 5. “Musafir” 6. “Kini Abad Rakyat Jelata” 7. “Di Kubur Pahlawan” 8. “Bukan Mimpi” 9. “Raja Jin” 10. “Di dalam Revolusi” 11. “Lukisan” 12. “Kisah di Waktu Pagi” 13. “Kami Kenangkan kembali” 14. “Seruan Lepas” 15. “Hamba” 16. “Bertanya” 17. “Lahir dan Batin” 18. “Untuk Saudara” 19. “Kepadamu Gunung” 20. “Indahlah Nusa” b. Cerita Pendek 1. “Pamanku” 2. “Radio Masyarakat” c. Novel Raja Kecil: Bajak Laut di Selat Malaka