Roestam Effendi
Roestam Effendi lahir pada tanggal 13 Mei 1903 di Padang, Sumatra Barat, dan meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 24 Mei 1979. Keberadaannya dalam khasanah sastra Indonesia, cukup penting. Ia tidak hanya dianggap sebagai pembaru penulisan sajak (dan drama) pada tahun 1920-an (lihat misalnya Teeuw, 1995 dan Junus, 1981), tetapi juga dikenal sebagai salah seorang yang gigih memperjuangkan nasib bangsanya. “Rustam Effendi, mungkin oleh sempitnya bergerak di Indonesia kemudian pergi ke negeri Belanda dan bergerak di lapangan parlementer di sana memperjuangkan nasib bangsanya,” demikian tulis Jassin (1954). Namun sayang, latar belakang keluarga Rustam Effendi tidak banyak dibicarakan orang. Menurut Zuber Usman (1956), Rustam Effendi adalah tamatan Sekolah Raja (Kweekschool) Bukittinggi. Rustam kemudian melanjutkan sekolahnya di Hogere Kweekschool voor Inlandse Onderwijzers (HKS) 'Sekolah Guru Tinggi untuk Guru Bumiputra’ Bandung. Pada tahun 1926 ia meninggalkan Indonesia, pergi ke negeri Belanda. Ia pergi ke negeri Belanda untuk melanjutkan pendidikannya. Selama di negeri Belanda, Rustam Effendi berhasil menempuh hoofdakte. Ia juga menggabungkan dirinya dalam Communistische Party Nederland, ‘Partai Komunis Belanda’. Setamat dari HKS Bandung, sebelum berangkat ke negeri Belanda, Rustam Effendi sempat beberapa lama menjadi guru kepala di sekolah Adabiah, Padang. Padahal, sebelum itu ia pernah diangkat oleh Dep. V. O & E menjadi waarnemend hoofd pada HIS Siak, Sri Indrapura. Namun. karena ia membenci pemerintah Belanda, pengangkatan tersebut ditolaknya. Ia kemudian mendirikan sekolah partikelir yang diberi nama Adabiah. Sebagai guru kepala di sekolah partikelir tersebut, Rustam merasa memiliki kemerdekaan untuk berbuat besar daripada rekan-rekannya yang bekerja pada pemerintah Belanda. Oleh karena itu, di samping bebas menulis, ia juga sempat terjun di dunia jurnalistik dan politik. Keaktifannya di dunia politik membuat konsentrasi Rustam berubah. Ia tidak puas berjuang hanya melalui sastra. Pada tahun 1926 ia pergi ke negeri Belanda dan bergabung dengan Partai Komunis Nederland. “Saya meninggalkan lapangan sastra Indonesia karena ingin memperjuangkan kemerdekaan nasional secara langsung dan aktif di lapangan politik,” demikian pengakuannya (Rosidi. 1969). Sejak masih duduk di bangku sekolah, Rustam sudah banyak menaruh minat pada kebudayaan dan pernah bercita-cita hendak memperbarui dunia sandiwara, yang saat itu lebih bersifat komedi-stambul (Usman. 1956). Keterikatannya pada kebudayaan, khususnya sastra, dibuktikan melalui kerajinannya membaca hasil kesusastraan Melayu, seperti hikayat, syair. pantun, dan talibun, juga melalui kegigihannya mempelajari kesusastraan Belanda dan kesusastraan asing lainnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika sewaktu masih muda Rustam sudah mengenal sastra asing, seperti karya Lodewijk V. Deysel, Helena Swart, Goner, Henriette Rolland Hoist, van der Schalk, Shakespeare, Dickens, dan Vondel. Pada masa awal kepengarangannya, dalam menulis, Rustam Effendi sering menggunakan nama samaran yaitu Rahasia Emas. Rantai Emas, dan Rangkayo Elok. Nama samaran itulah yang digunakan Rustam dalam sajaknya yang dimuat dalam sebuah majalah di Padang yang berjudul Asjraq. Sajak yang dimuat di Asjraq itulah yang menjadi cikal bakal karyanya Percikan Permenungan. Berbeda dengan proses lahirnya Percikan Permenungan, lahirnya Babasari karena mendapat dorongan murid sekolah MULO di Padang yang saat itu akan mengadakan pesta sekolah dengan pementasan drama sebagai salah satu acaranya. Karena belum ada naskah drama, lahirlah Bebasari meskipun tidak jadi dipentaskan (karena dilarang). Barangkali benar kata Ajip (1969) bahwa Rustam tak mempercayai lagi pada kekuatan kata-kata belaka. Sejak ia terjun ke dunia politik, Rustam tidak berkarya lagi. Selama masa kepengarangannya, ia hanya melahirkan dua buah buku, yakni: Bebasari (drama tiga babak) dan Percikan Permenungan (kumpulan puisi).