Motinggo Boesje
Motinggo Boesje adalah nama samaran. Nama yang diberikan oleh orang tuanya adalah Bustami, tetapi dia mengganti namanya dengan Motinggo Boesje dan nama itulah yang kini lebih dikenal. Dia seorang sastrawan yang lahir tangga121 November 1937 di Kupangkota, Lampung. Menurut Motinggo Boesje, tahun kelahirannya itu ada dua versi. Versi pertama ialah catatan ibunya di sebuah buku, yaitu tahun 1937. Versi kedua ialah saat ayahnya akan memasukkan Motinggo Boesje ke SD, dia menyebutkan bahwa anak itu lahir tahun 1936. Hal itu berkaitan dengan tes masuk sekolah model dulu, yaitu apabila seorang anak sudah bisa memegang telinga dngan tangan melingkar melewati kepala, berarti anak itu sudah pantas masuk sekolah. Saat itu tangan Motinggo belum bisa memegang telinga sehingga ayahnya memberi komentar bahwa anak ini lahir tahun 1936. Motinggo sendiri lebih senang menggunakan tahun yang bershio tikus (1937) sebab menurutnya shio tikus membawa keberuntungan.
Menurut Ismail (1999:16), nama Motinggo berasal dari kata bahasa Minang, mantiko yang artinya bengal, eksentrik, sukamenggaduh, ada kocaknya, dan tak tahu malu. Hal tersebut disanggah oleh Motinggo Boesje bahwa namanya sama denganmantiko bungo (mantiko yang seperti bunga bukanlah mantiko yang jelek). Mantiko Bungo atau disingkat menjadi MB sama dengan Mantinggo Boesje bila disingkat.
Orang tua Motinggo berasal dari Minangkabau. Ayahnya bernama Djalid dan gelar adat Rajo Alam. Nama lengkapnya Djalid Sutan Rajo Alam. Ibunya bernama Rabi'ah Ja'akub. Ayahnya bekerjasebagai klerk KPM di daerah Kupangkota. Kedua orang tuanya meninggal pada tahun yang sama, yaitu 1948, ketika Motinggo baru berusia sekitar 12 tahun. Sepeninggal kedua orang tuanya, dia diasuh oleh neneknya, Aisjah. Dia pindah ke tempat neneknya di Bukittinggi.
Menurut adat Minangkabau, apabila seorang laki-laki sudah mencapai usia dewasa, dia harus memiliki gelar adat, maka Motinggo pun memakai gelar “Saidi Maharajo”.
Motinggo Boesje menikah dengan Lashmi Bachtiar 26 Juli 1962 di Yogyakarta. Mereka dikaruniai enam orang anak, empat laki-laki dan dua perempuan. Motinggo meninggal dunia tanggal 18 Juni 1999, tepatnya pada usia 62 tahun.
Motinggo Boesje mengawali pendidikannya di sekolah rakyat (SR), kemudian melanjutkan ke SMP. Setelah ikut neneknya, dia pindah ke SMP II Bukittinggi. Setelah lulus SMP, dia melanjutkan ke SMA yang lebih dikenal sebagai “Sekolah Rajo” di Bukittinggi. Setelah tamat SMA, dia melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, tetapi tidak tamat.
Ismail (1999:15), berpendapat bahwa Motinggo adalah anak ajaib di pentas sastra kita sebab pada usia yang masih sangat muda (SMP) karyanya sudah disetujui H. B. Jassin untuk dimuat di Mimbar Indonesia.
Karier Motinggo dalam bidang tulis-menulis memang berawal saat dia bersekolah di SMP. Pada saat itu, dia sudahbelajar melukis kepada pelukis terkenal,Wakidi dan Djufri Sjarif. Kariemya di bidang seni lukis makin lama makin meningkat, terutama setelah Motinggo berada diYogyakarta. Hal itu berkaitan dengan pendapat Ismail (1999:17), bahwa Yogya yang banyak dihuni seniman dari berbagai bidang membuat Motinggo betah dan berkembang pesat pada tahun 1960-an. Interaksinya dengan bidang sastra (novel, cerita pendek, puisi), seni rupa, teater dan film, serta jurnalistik memperkaya dan mengembangkan bakat Motinggo dari berbagai segi. Setelah dia pindah ke Jakarta, bakatnya pun lebih berkembang lagi.
Karya-karya Motinggo sekitar tahun 1965 kebanyakan membicarakan persoalan hidup yang dilatarbelakangi kehidupan masyarakat di Yogyakarta. Latar kehidupan itu tercermin dalam kumpulan cerita pendeknya yang berjudul Keberanian Manusia (1962). Setelah Motinggo Boesje tinggal di Jakarta, karya-karya terbarunya kebamyakan berlatar kehidupan daerah metropolitan Jakarta dan Bandung yang diwarnai kehidupan kaum elite.
Dia juga tidak hanya menulis karya yang berbentuk prosa dan drama, tetapi juga menulis puisi yang diterbitkan dalam majalah, antara lain Mimbar Indonesia dan Budaja, serta di beberapa surat kabar.
Karya Motinggo sebelum tahun 1965 telah menarik minat orang asing sehingga sebagian karyanya pernah diterjemahkan oleh orang asing itu. Satu di antara karya yang pernah diterjemahkan ke dalam bahasa asing ialah novel Malam Pengantin di Bukit Kera yang diterjemahkan ke dalam bahasa Chekoslovakia. Kemudian, dramanya yang berjudul Malam Djahanam pernah dipentaskan di Universitas Pasadena, Amerika Serikat.
Karyanya Malam Djahanam pernah mendapat Hadiah Pertama dalam Sayembara Penulisan Drama, Bagian Kesenian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1958. Cerpennya yang berjudul Nasehat buat Anakku mendapatkan hadiah dari majalah Sastra tahun 1962.
Kehidupan Motinggo Boesje setelah, tahun 1965 mulai berubah karena pengaruh tekanan ekonomi sehingga latar kehidupan dalam karyanya pun ikut berubah. Dia mulai mengikuti perkembangan masyarakat sehingga karyanya pun disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dia mulai menulis karya dengan dibumbui unsur erotisme sesuai dengan perkembangan masyarakat metropolitan pada masa itu. Sekitar tahun 1960-an karyanya masih terbebas dari unsur erotisme. Perubahan itu dipengaruhi oleh tekanan ekonomi dan kebutuhan hidup sehingga jiwa dagangnya keluar dan dia menciptakan tulisan yang laku keras, khususnya di kalangan kaum muda, sekitartahun 1968 sampai tahun 1970-an.
Motinggo mengakui bahwa jiwakepengarangannya dipengaruhi beberapa sastrawan Barat dan Indonesia. Misalnya, ketika menulis cerita pendek, teknik yang digunakannya dipengaruhi oleh pengarang Maupasant. Dalam menampilkan watak tokoh cerita, Motinggo secara tidak langsung dipengaruhi oleh sastrawan Rusia, Anton P. Chekov. Selain itu, dia juga mengagumi novelet John Steinback. Pengarang Indonesia yang dikaguminya saat itu adalahPramoedya Ananta Toer. Dalam menuliskan, gaya dan dialog, Motinggo mengagumi gaya sastrawan Ernest Hemingway yang dinilainya naturalis. Ketika menulis puisi, secara tidak langsung dia dipengaruhi oleh penulis Amerika Serikat. Dia tidak bisa menyebutkan siapa penyair dari negara tersebutyang dapat menggetarkan jiwanya. Namun, Motinggo mempunyai pendirian bahwa dirinya tidak suka menciptakan dan mementaskan drama yang “absurd” seperti yang dilakukan Chekov pada naskah dramanya yang baru.
Setelah tahun 1970-an, karya-karyanya mulai surut. Hal itu disebabkan oleh banyaknya tanggapan dari masyarakat pembaca yang mengkritik karyanya tahun 1968-1970-an. Sebagai pengarang, tentu Motinggo Boesje tidak terlepas dari kritikan masyarakat penikmat sastra. Sebagian orang mengatakan bahwa karya Motinggo merupakan karya “picisan” dan sebagian lagi mengatakan bahwa karyanya itu sebagai karya “pornografis”. Motinggo menyadari penilaian semacam itu dan dia ingin mencoba lagi untuk menciptakan atau menulis karya yang di dalamnya terbebas dari unsur erotisme seperti karyanya tahun 1965-an. Hal itu masih belum dapat dilakukan karena dia merasa gagal atas karyanya sehingga timbullah penilaian semacam itu dari masyarakat pembaca. Dalam menghadapi penilaian seperti itu, Motinggo pernah menegaskan bahwa sebagai seorang pengarang, dia harus bersedia memikul risiko kritikan karena seniman bukan meminta pengakuan dari satu zaman yang tercatat (Mingguan Srikandi, Tahun. III, No. 115, Jakarta 7 Desember 1969).
Tahun 1972-an dia mulai menekuni dunia perfilman dengan menulis skenario film dan menyutradarainya. Film-film yang pernah disutradarai pada awal kariernya itu adalah Biarkan Musim Berganti, Cintaku Jauh di Pulau, dan Takkan Kulepaskan.Sebagai pengarang dan sutradara film, Motinggo pernah mengunjungi beberapa negara, seperti Jepang, Thailand, Australia, dan Singapura. Kunjungannya itu dilakukanuntuk menunjang kariernya dan menambah wawasannya, baik sebagai pengarang, penulis skenario film, dan sutradara film.
Tahun 1994 Motinggo Boesje dan istri-nya menunaikan ibadah haji. Menurut Ismail (1999:18), perjalanan haji mereka merupakan pencerahan batin luar biasa. Sepulang dari Tanah Suci, dia menulisPurnama di atas Masjidil Haram.
Dalam peta sastra Indonesia Motinggo Boesje digolongkan oleh Ajip Rosidi sebagai pengarang periode 1953-1961.
Motinggo Boesje, pernah bekerja di Penerbit Nusantara, sebagai Redaktur Kepala. Dia juga pernah menjabat Ketua II Koperasi Seniman Indonesia.
karya-karya Motinggo Boesje sangat banyak, beberapa di antaranya sebagai berikut.
- Puisi
- “Djalan Rata Kepegunungan”,Budaja, Maret/Apri11957.
- “Kota Kami Dahulu”, Budaja,Maret/ April 1957.
- “Ulang Tahun”, Budaja, Maret 1958.
- “Ibu”, Budaja, April/Mei 1959.
- “Kepada Potret Abadi”, Budaja,Agustus 1959.
- “Madjenun-Madjenun”, Budaja,Agustus 1959.
- “Perpisahan”, Budaya, Agustus 1959.
- “Lalu Sepi”, Minggu IndonesiaRaja, Agustus 1969.
- Aura Para Aulia (kumpulan puisi).
- Drama
- “Malam Djahanam”, Budaja,Maret/ April 1959.
- “Barabah”, Budaja, April/Mei 1961.
- Badai Sampai Sore, Jakarta: MegaBooks, 1963.
- Malam Pengantin di Bukit Kera,Jakarta: Mega Books, 1963.
- Njonja dan Njonja, 1963. Jakarta:Mega Books.
- Cerita Pendek
- “Bapak” (terjemahan), Budaja,November/Desember 1957.
- Keberanian (kumpulan cerita pendek), Jakarta: Nusantara, 1962.
- Nasehat untuk Anakku (kumpulancerita pendek), Jakarta: Mega Books, 1963.
- “Pidato Seorang Ajah”, Sastra, Maret 1962.
- Matahari dalam Kelam (kumpulancerita pendek), Jakarta: Nusantara,1963.
- “Perempuan-PerempuanPemarah”, Minggu Berita Indonesia, 26 November 1969.
- “Streptomisin”, Yudha Minggu,l4 November 1969.
- Dua Tengkorak Kepala (kumpulancerita pendek), Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999.
- Novel
- Tidak Menjerah. 1962. Jakarta:Nusantara.
- Tiada Belas Kasihan. 1963. Jakarta:Pusaka Nina.
- 888 Djam Dilautan. 1963. Jakarta:Mega Books.
- Perempuan itu Bernama Barabah.1963. Jakarta: Nusantara,
- Batu Serampok. 1963. Jakarta: Aryaguna.
- Dosa Kita Semua (1963)
- Dalam Genggaman Tjinta. 1966.Jakarta: Lokajaya.
- Karena Njala Kasihmu.1966,. Jakarta:Lokajaya.
- Tak Berhati.1968. Jakarta: Budayata.
- Neraka Lampu Biru. 1968. Jakarta:Budaya.
- Djeng Mini. 1969. Jakarta: Lokal jaya.
- Sanu Infinita Kembar. 1985. Jakarta:Gunung Agung.
- Madu Prahara (1985)
- Karya Film
- Biarkan Musim Berganti, 1971.
- Tjintaku Djauh Dipulau, 1972.
- Takkan.Kulepaskan,1973.
- Karya Esai/Kritik
- “Hasil Seni Modern”, Sastra, No.2,1962.
- “Sebagai Pengarang.. . . Bersedia Pikul Resiko Kritik”, Mingguan Srikandi, 1969.
- “Tema-Tema jang Saja Pilih” (Sebuah referen ceramahnya di Taman Ismail Marzuki), 9 September 1969.
- “Film 'Jane Eyre' dan Charlotte Bronte”, Sinar Harapan, 5 April 1973.