Fira Basuki

Fira Basuki atau lengkapnya Dwifira Maharani Basuki lahir di Surabaya, Jawa Timur, pada tanggal 7 Juni 1972.  Ia menikah dengan pria asing bernama Palden T. Galang dan dikaruniai seorang putri yang diberi nama Syaza Calibria Galang. Setelah menikah sekian tahun, mereka berpisah. Fira menjadi orang tua tunggal untuk anak semata wayangnya itu.

Setelah cukup lama hidup sendiri dan menjadi orang tua tunggal untuk Syaza, akhirnya, pada bulan November 2010, Fira bertemu dengan seorang pria yang menggetarkan hatinya. Ternyata, pria itu juga menaruh perasaan yang sama kepadanya. Meski Fira lebih tua sebelas tahun dari pria tersebut, ternyata jarak usia yang cukup jauh itu tidak menghalangi mereka untuk pacaran dan menjalin hubungan dengan lebih serius.  Akhirnya, hari bahagia itu pun tiba.

Pada tanggal 25 November 2011, Fira menikah untuk yang kedua kalinya dengan kekasih pujaan hatinya, Hafez Agung Baskoro. Ia sangat bahagia menjalani rumah tangga barunya itu. Meskipun usianya lebih muda, Hafez, suaminya, sangat dewasa dan sangat pengertian. Ia sangat menyayangi Fira dan juga Syaza. Fira sangat bahagia.

Sayang sekali, hubungan yang indah itu ternyata tidak bertahan lama. Hari Jumat, tanggal 16 Maret 2012, di RS Panti Rapih Yogyakarta, suami Fira pergi untuk selama-lamanya, setelah sakit dan koma selama beberapa hari. Fira dengan tegar mengikhlaskan kepergian suaminya tercinta meskipun saat itu ia sedang mengandung buah cinta mereka yang masih berusia tiga bulan. Bayi itu kemudian lahir  pada tanggal 27 Agustus 2012, berjenis kelamin perempuan, dan diberi nama Kiad Sastra Baskoro.

Saat ini, Fira kembali menjalani hidup sendiri dan menjadi orang tua tunggal untuk kedua putrinya, Syaza Calibria Galang (15 tahun) dan Kiad Sastra Baskoro (4 tahun). 

 

Fira memulai pendidikan formalnya di kota Bogor. Setelah menyelesaikan pendidikannya di SMU Regina Pacis, Bogor (1991), Fira meneruskan studinya ke Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Setelah itu, ia pindah ke Jurusan Communication-Journalism, di Pittsburg State University, Pittsburg-Kansas, USA, dan lulus dengan gelar Bachelor of Arts (1995). Selanjutnya, ia meneruskan studi master di Jurusan Cummunication-Public Relation, Pittsburg State University (1995) dan mengambil lagi studi yang sama di Wichita State University (1996). 

Dalam perjalanan hidupnya, Fira pernah bekerja di majalah Dewi dan menjadi kontributor di beberapa media asing, seperti Sunflower, Collegia, dan Morning Sun (ketiganya di Kansas, USA)Ia juga pernah menjadi pembawa acara  pada CAPS-3 TV, Pittsburg, Kansas dan produser paruh waktu di Radio Singapure Intermational. Saat ini, ia menjadi Pemimpin Redaksi majalah Cosmopolitan dan kontributor eksekutif  di  Harper’s Bazaar, Indonesia.

Sejak kecil Fira sudah yakin kalau dirinya terlahir untuk menjadi penulis. Bakat menulisnya sudah terlihat sejak ia masih duduk di kelas dua sekolah dasar. Ia sudah mulai membuat puisi dan merangkai kata-kata di buku pelajaran sekolahnya. Karena tidak bisa tidur siang setelah pulang dari sekolah, sementara semua saudara-saudaranya tidur siang, ia pun memanfaatkan waktunya untuk menulis. Ternyata, ia menemukan kesenangan dan ketenteraman.

Ide tulisannya bisa diperolehnya dari mana saja, dari sekelilingnya, dari dalam dirinya, atau dari orang lain, termasuk hal yang remeh temeh.  Bahkan, ia juga pernah mendapat ide untuk judul dan jalan cerita tulisannya dari mimpi. Dalam membuat cerita, Fira selalu memadukan data (yang diperolehnya dari fakta) dengan kekuatan  imajinasi. 

Pada saat duduk di bangku SMA, Fira sudah menjuarai berbagai lomba menulis, baik yang diadakan oleh majalah, seperti Tempo dan Gadis maupun yang diadakan oleh berbagai instansi, seperti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, LIPI, dan FISIP-UI. Melihat bakat dan kemampuan Fira, kedua orang tuanya pun sepakat memberi dukungan sepenuhnya bagi Fira untuk terjun ke dunia tulis-menulis.

Pada fase selanjutnya, Fira mengembangkan sayapnya, bukan lagi hanya menulis puisi dan cerpen, melainkan juga sudah merambah dunia penulisan novel. Novel perdananya berjudul Jendela-Jendela diterbitkan oleh Grasindo (2001). Novel Jendela-Jendela berkisah tentang pasangan suami-istri muda yang latarnya bergerak di Indonesia, Amerika, dan Singapura. Fira dengan fasih bisa menggambarkan latarnya dengan baik dan menarik karena ia memang punya pengalaman tinggal di ketiga negara tersebut.  

Novel itu juga memberi gambaran yang menarik karena bisa mengubah persepsi orang pada umumnya mengenai kehidupan di negara maju dan kaya. Ternyata, di mana pun, ada saja orang mengalami kesulitan hidup, seperti yang dialami oleh June (istri, Indonesia) dan Jigme (suami June, Tibet) yang berkenalan sewaktu kuliah di Amerika dan memulai kehidupan berumahtangganya di Singapura.    

Novel itu terbit bulan Juli dan sudah mengalami cetak ulang pada bulan Desember dalam tahun yang sama. Sukses dengan novelnya yang pertama, Fira lalu menulis lanjutan cerita Jendela-Jendela dan meluncurkan dua novel berikutnya dalam tahun yang sama,  Pintu (Grasindo, Juli 2002) dan Atap (Grasindo, Desember 2002). Ketiga novel itu merupakan novel trilogi. Sama dengan novel pertamanya, novel kedua dan ketiga Fira itu pun sukses di pasaran terbukti dari cetak ulangnya yang berkali-kali dalam tempo yang tidak terlalu lama. 

Setelah sukses menerbitkan novel trilogi itu, Fira kembali meluncurkan novel barunya yang berjudul Biru (Grasindo, 2003)  dan Rojak (Grasindo, 2004). Novel Biru menceritakan tentang rencana reunian dengan teman-teman SMA yang sudah berpisah  selama dua puluh tahun, menguak kembali kisah masa lalu dan cinta masa lalu. Banyak tokoh yang berseliweran dengan alur yang meloncat-loncat dan sudut pandang yang berpindah-pindah. Berlatar kota Bogor, mungkin, karena Fira dulu SMA di kota itu.

 Novel Rojak bercerita seputar masalah keluarga berlatar kawin campur (beda bangsa dan beda budaya). Kisah antara Janice Wong (wanita peranakan Cina-Melayu) yang tinggal di Singapura dan menikah dengan Setyo Putro Hadiningrat (pemuda Indonesia, keturunan bangsawan Jawa, yang hidup dan dibesarkan di lingkungan keluarga ningrat yang masih memegang teguh adat istiadat). Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu Bagus Putra Hadiningrat dan Meita Putra Hadiningrat.  

Selama tujuh tahun menikah, perbedaan latar belakang bangsa dan budaya itu belum menjadi masalah bagi mereka. Akan tetapi, setelah ayah Setyo meninggal dunia, dan ibunya tinggal bersama mereka, barulah drama keluarga dimulai. Ibu Setyo yang ningrat selalu ikut campur dalam masalah keluarga putranya itu. Ia selalu mencela dan menyalahkan Janice dalam banyak hal, dari masalah kecil hingga masalah besar.

Janice mulai merasakan perbedaan di antara mereka dan perbedaan itu semakin hari semakin nyata. Perbedaan tersebut mulai menimbulkan konflik-konflik yang pelan-pelan menghancurkan keluarga mereka. Janice tidak bisa mengadu kepada Setyo, suaminya, karena Setyo, sebagai anak yang harus menghormati orang tua dengan segala aturannya,  pastilah akan membela ibunya. Kehidupan rumah tangga Janice diibaratkan Fira sebagai rojak--dalam bahasa Indonesia, rujak-- (campur-aduk, asam-asin-pedas). Judul Rojak memang terinspirasi dari makanan yang berupa campuran buah-buahan dengan bumbu tertentu itu.  

Dalam Rojak pembaca akan mendapat pengalaman baru. Dalam novel itu Fira menggambarkan dengan lebih jelas, apa kelebihan-kelebihan yang didapatkan dari perkawinan campur dan apa pula kekurangan-kekurangan yang harus ditutupi atau diatasi. Fira memang cukup detail menggambarkan suasana dan masalah yang dihadapi dalam rumah tangga beda bangsa dan beda budaya itu. Mungkin, itu merupakan pengalaman pribadi Fira yang juga menikah dengan orang asing.

Selain menulis novel orisinal, Fira juga membuat gebrakan baru dalam dunia penulisan. Ia menulis novel yang diadaptasi dari skenario film. Novel Brownies (2004), yang berasal dari skenario film “Brownies”. adalah novel adaptasinya yang pertama. Alur cerita dan sudut pandangnya memang agak berbeda daripada alur dan sudut pandang di film, tetapi ceritanya sama.

Novel Brownies bercerita tentang seorang perempuan muda yang suka sekali membuar brownies, tetapi selalu gagal, tidak pernah enak. Di tengah frustrasinya karena kegagalan dan pacarnya selingkuh, ia bertemu dengan seorang pria yang sangat pintar membuat brownies. Mereka saling tertarik, tetapi selalu diliputi kegamangan dan konflik-konflik psikologis yang terjadi dalam diri mereka.  

Film Brownies” dirilis pada bulan Desember tahun 2004, lebih belakangan dari peluncuran novelnya, November 2004. Film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo itu dibintangi oleh Marcella Zalianty dan Bucek Deep. Pada Festival Film Indonesia 2005, Film “Brownies” mendapat tiga piala citra, masing-masing untuk kategori sutradara terbaik, pemeran wanita terbaik, dan tata suara terbaik.

Setelah menulis novel adaptasinya yang pertama, Fira melanjutkan lagi menulis novel adaptasinya yang kedua. Novel adaptasinya kali ini berjudul Cinta dalam Sepotong Roti (2005) yang diadaptasi dari skenario film berjudul sama, “Cinta dalam Sepotong Roti” . Judulnya cukup unik dan mampu mengelitik orang untuk ingin membacanya. Novel itu, sama dengan filmnya, juga menuai sukses di pasaran.

Novel Cinta dalam Sepotong Roti bercerita tentang kisah tiga orang sahabat yang dikemudian hari terlibat dalam cinta segitiga. Harris, Mayang, dan Topan sudah bersahabat sejak kecil. Sebagaimana anak-anak kecil perempuan saat itu, Mayang sering mengajak Harris dan Topan main pengantin-pengantinan dan  Harrislah yang selalu menjadi mempelainya, sedangkan Topan menjadi penghulunya atau menjadi orang yang menyediakan peralatan pengantin-pengantinan itu.

Saat mereka dewasa, cerita itu ternyata benar-benar terjadi, Mayang menikah dengan Harris. Pangerannya yang baik, yang sayang kepadanya, dan yang selalu melindungi dirinya. Akan tetapi, pernikahan mereka ternyata bermasalah. Harris yang menyimpan trauma terhadap ibunya, tidak bisa membahagiakan Mayang. Harris tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai suami, ia tidak mampu memberikan nafkah batin kepada Mayang.     

Sementara itu, Topan menjadi fotografer dan pergi mengikuti angin takdir yang membawanya entah ke mana. Sampai suatu ketika, ia bertemu lagi dengan Harris dan Mayang yang sedang mencoba menyelesaikan masalah mereka dengan pergi berlibur, sekalian memperingati setahun pernikahan mereka. Mereka kemudian jalan bersama dan saat itulah Mayang baru menyadari bahwa ia sebenarnya mencintai Topan dan bukan Harris.

Ternyata Topan pun mempunyai perasaan yang sama. Berkali-kali ia menjalin hubungan dengan wanita lain, tetapi hatinya tetap tertuju kepada Mayang. Harris merasa curiga dan akhirnya meledakkan kemarahannya kepada Topan. Akan tetapi, Mayang tidak tinggal diam, ia pun melawan yang membuat Harris terpojok. Namun, ledakan kemarahan Harris itu seperti terapi baginya, karena setelah itu ia mampu memberikan kepuasan kepada Mayang.

Mayang berada dalam dilema, antara kesetiaan dan kebebasan. Di antara pangerannya dan kesatrianya, ia tersenyum dalam getir. Sepotong roti isi selai  ia berikan kepada Topan untuk terakhir kalinya karena Topan akan pergi. Di sanalah cintanya berada, di dalam sepotong roti.

  Film “Cinta dalam Sepotong Roti” dirilis pada tahun 1991, empat belas tahun lebih dulu dari penulisan novelnya. Film yang disutradarai oleh sutradara kondang, Garin nugroho, itu dibintangi oleh Adjie Massaid (Harris), Cut Rizky Theo (Mayang), dan Tio Pakusadewa (Topan). Film “Cinta dalam Sepotong Roti” itu memboyong empat piala citra pada FFI 1991, masing-masing untuk kategori tata sinematografi terbaik, tata artistik terbaik, penyuntingan terbaik, dan cerita asli terbaik.

Pada tahun 2013, Fira meluncurkan buku barunya yang berjudul Fira dan Hafez. Buku itu merupakan kisah hidupnya bersama suaminya, Hafez Agung Baskoro, yang hanya diberi kesempatan kurang dari empat bulan bersamanya. Kisah cinta yang indah dan dramatis. Buku itu kemudian dicetak ulang. Pada cetakan yang ke-3, buku itu berganti judul menjadi Cinta Selamanya (Grasindo, 2014).

Kisah dalam memoarnya itu, atas keinginan Fira, diangkat ke dalam film dengan judul “Cinta Selamanya” (2015). Film itu didedikasikannya untuk almarhum suaminya, Hafez Agung Baskoro.  Film itu disutradarai oleh Fajar Nugros, dibintangi oleh Atiqah Hasiholan dan Rio Dewanto serta Widy Mulya dan Dwi Sasono. Ada slogan yang menarik yang disertakan dalam film itu, yaitu “Mata menatap, hati menetap, cinta selamanya “.

Sampai saat ini Fira terus menulis, tiada henti. Karena bagi Fira menulis adalah kebutuhan, sama seperti makan, minum, bahkan bernafas. Jika tidak menulis, ia akan merasa blingsatan. Menurut Fira, yang menjalani pola hidup sehat dengan menjadi vegetarian, kebiasaan membaca dan menulis dapat membuat orang awet muda dan tidak mudah pikun.

 

Karya-Karya Fira Basuki

Novel

  1. Jendela-Jendela (Grasindo, 2001)
  2. Pintu (Grasindo, 2002)
  3. Atap (Grasindo, 2002)
  4. Biru (Grasindo, 2003)
  5. Rojak (Grasindo, 2004)
  6. Brownies (adaptasi dari film, Gagas Media, 2004)
  7. Cinta dalam Sepotong Roti (adaptasi dari film, Gagas Media, 2005)
  8. Fira dan Hafez (Grasindo, 2013)
  9. Cinta Selamanya (Grasindo, 2014)

 

Kumpulan cerpen, biografi, cerita serial, dan film

  1. Alamak  (Kumpulan cerpen, Grasindo, 2005)
  2. Perempuan Hujan
  3. DwilogiAstral Astria-Paris Pandora
  4. Kapitan Pedang Panjang
  5. Miss B: Panggil Aku B (cerita serial, Grasindo, 2004)
  6. Miss B: Will U Marry Me? (cerita serial, Grasindo, 2004)
  7. Miss B: Jangan Mati (cerita serial, Grasindo, 2005)
  8. Mandy dan Mami (cerita anak-anak, )
  9. Mandy and Mommy (cerita anak-anak dalam bahasa Inggris)
  10. 140 Karakter
  11. Hell, Yeah
  12. “Cinta Selamanya” (film, 2015)

Sumber foto:

https://m.tempo.co,

http://mediaindonesia.com,

https://www.kapanlagi.com

Admin Badan Bahasa

-

Fira Basuki

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa