JAKOB SUMARDJO

Jakob Sumardjo adalah salah satu tokoh filsafat yang namanya cukup menarik perhatian berkat pemikiran-pemikirannya tentang kefilsafatan dalam seni. Jakob lahir di Klaten, 26 Agustus 1939 dari pasangan P. Djojoprjitno dan Jovita Siti Rochma. Jakob adalah anak sulung dari tujuh bersaudara. Dia merupakan salah satu pengajar yang dikukuhkan sebagai guru besar di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung yang dulu dikenal dengan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI).

Pedidikan yang ditempuh Jakob bermula dari Sekolah Dasar Kanisius, Klaten pada 1953; SGB BOPKRI, Yogyakarta pada 1956; SGA BOPRI, Yogyakarta pada 1959; Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Sanata Dharma, Yogyakarta pada 1962; dan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung pada 1970.

Jakob mengawali kariernya sebagai guru di SMA Santa Angela yang berlokasi di Bandung (1962—1980). Kemudian, dia menjadi pengajar di Fakultas Seni Rupa Daerah IB Bandung (sejak 1962). Pada 1980 selain menjadi pengajar, dia mendapatkan kepercayaan menjadi Ketua Jurusan Teater di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung. Sampai ahkirnya, dia menjadi guru besar dan seorang kritikus sastra.

Keseharian Jakob selain menjadi pengajar aktif, dia menjadi dosen luar biasa atau dosen tamu di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Parahyangan, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI), dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Aktivitas lainnya adalah mengisi materi dalam diskusi-diskusi ilmiah yang diselenggrakan oleh beberapa komunitas, universitas, atau lembaga-lembaga lainya.

Keseriusannya dalam tulis-menulis sudah terlihat sejak dia berada di bangku SMP. Dia telah melahirkan cerita-cerita pendek yang dimuat di surat kabar di Yogyakarta. Kemudian, karier kefilsafatan Jakob dimulai ketika dia menulis kolom di Harian KompasPikiran RakyatSuara Karya, dan Suara Pembaruan, serta majalah PrismaBasis, dan Horison sejak 1969. Buku-bukunya yang secara khusus berisi filsafat Indonesia meliputi Menjadi Manusia (2001), Arkeologi Budaya Indonesia (2002), dan Mencari Sukma Indonesia (2003).

Ayah dari empat orang anak ini mendefinisikan filsafat sebagai primordial atau pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya. Dalam bukunya Mencari Sukma Indonesia, ia menyebutkan bahwa filsafat etnik Jawa berarti filsafat yang terbaca dalam cara masyarakat Jawa dalam menyusun gamelan, tarian, dan mitos-mitosnya.

Pernah dikutip dalam sebuah wawancara bersama Harian Kompas, dia berpendapat bahwa menjadi kritikus sastra di Indonesia itu cukup sulit. Jakob mengatakan, “Ibarat tikus sawah, tiap kali muncul diuber dengan pentungan.” Jika tulisannya dimuat di koran atau majalah, sesama rekan guru, dosen, atau istrinya hanya tertarik membaca namanya, tetapi tidak satu pun di antara mereka membaca isi tulisannya karena mereka selalu mengatakan tidak mengerti dengan apa yang Jakob tulis.

Berikut ini adalah buku, ulasan, dan karya kolaborasi yang pernah ditulis Jakob.

  1. Simbol-Simbol Mitos Pantun Sunda (Bandung: Penerbit Kelir, 2013);
  2. Delapan Naskah Drama Monolog (Bandung: Majelis Sastra Bandung, 2020);
  3. Memori dan imajinasi Nusantara (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015);
  4. Hermeneutika Sunda: Simbol-Simbol Babad Pakuan/Guru Gantangan (Bandung:         Kelir, 2004);
  5. 71 Puisi Anton De Sumartana Segenggam Doa (Jakarta: Swawedar 69 Institute &

Ads, 2008);

  1. Apresiasi kesusastraan (Jakarta: Gramedia, 1986);
  2. Kesusastraan Melayu-Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004);
  3. Sajak Filsafat Jeihan (Bandung; Jeihan Istitute: 2009);
  4. Sang Hyang Hurip: Tekad, Ucap, Lampah Gereja (Bandung: Penerbit Kelir, 2015);
  5. Tiga Maestro Dalang Wayang Golek: Proses Kreatif, Idealisme, dan Gaya

Pertunjukannya (Bandung: Sunan Ambu Press, 2017);

  1. From Spirit To Creation: Kanwa Adikusumah, Journey and Sculptures (Belgium:

Kanwa Adikusumah & amp; Bernadette Van de Maele, 2009);

  1. Memahami Kesusasteraan (Bandung: Alumni, 1984);
  2. Filsafat Seni (Bandung: Penerbit ITB, 2000);
  3. Sunda: Pola Rasionalitas Budaya (Bandung: Kelir, 2010);
  4. Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-Tafsir Pantun Sunda (Jakarta: Kelir,

2003);

  1. Dari Kasanah Sastra Dunia (Bandung: Alumni, 1985);
  2. Pengantar Novel Indonesia (Jakarta: Karya Unipress, 1983);
  3. Struktur Filosofis Artefak Sunda (Bandung: Penerbit Kelir, 2019);
  4. Sunda: Pola Rasionalitas Budaya (Bandung: Penerbit Kelir, 2015);
  5. Khazanah Pantun Sunda: Sebuah Interpretasi (Bandung: Penerbit Kelir, 2006);
  6. Sinopsis Roman Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990);
  7. Catatan Dari Luar Pagar (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994);
  8. Sosiologi Seniman Indonesia (Bandung: Penerbit ITB, 2000);
  9. Memahami Kesusastraan (Bandung: Alumni, 1984);
  10. Novel Indonesia Mutakhir Sebuah Kritik (Yogyakarta: CV Nurcahya, 1979);
  11. Antologi Apresiasi Kesusastraan (Jakarta: Gramedia, 1986);
  12. Estetika Paradoks (Bandung: STSI, 2010); dan
  13. Arkeologi Budaya Indonesia: Pelacakan Hermeneutis-Historis Terhadap Artefak-

Artefak Kebudayaan (Yogyakarta: Qalam, 2002).

Dengan melihat begitu banyaknya buku yang ditulis oleh Jakob, tidak sedikit dari mereka yang sedang melakukan penelitian, menyusun skripsi, tesis, disertasi, dan karya-karya ilmiah menjadikan buku Jakob sebagai referensi atau acuan yang cukup mumpuni. Selain buku-buku yang tertulis di atas, artikel hasil pemikirannya pun dimuat di berbagai jurnal.

Buku-buku yang ditulis oleh Jakob dalam penelusuran Putu Fajar Arcana melalui tulisannya berjudul “Bilik Sederhana Jakob Sumardjo” mengungkapkan, “Ruang kerja Jakob Sumardjo (71) hanya seukuran 2 meter x 2,5 meter. Di situ tergeletak kasur tua, rak buku usang, dan sebuah mesin tik yang tak kalah tuanya. Lewat mesin tik bermerek Royal 200 itulah Jakob menghasilkan lebih dari 35 buku dan ratusan artikel yang tersebar di berbagai media.”
 

Semangatnya untuk menulis tetap terjaga meskipun usianya hampir delapan puluh dua tahun.

Selanjutnya, penghargaan yang pernah diterima oleh Jakob adalah sebagai berikut.

  1. Penghargaan Nabil (Nation Building) Award Tahun 2015;
  2. Penghargaan Kompas Cendekiawan Berdedikasi Tahun 2021;
  3. Anugerah Kebudayaan tiga kali dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata atas esai "Kaula Gusti" Tahun 2004; dan
  4. Penghargaan Satya Lencana Kebudayaan Tahun 2010.

Sumber Bacaan

  1. Kompas.com
  2. Perpusnas.go.id
  3. Merdeka.com
  4. Borobudurwriters.id
  5. Googel Cendikiawan

Sumber Foto

  1. Borobudurwriters.id
  2. Kompas.id

Admin Badan Bahasa

-

JAKOB SUMARDJO

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa