Bre Redana
Bre, anak ketiga dari empat bersaudara, termasuk orang yang enggan menyebutkan tanggal kelahirannya. Pernah secara terbuka, ia menuturkan latar belakang kehidupan keluarganya. “Ayah saya kader PKI di Salatiga” demikian pengakuannya. Ayahnya, Gondo Waluyo, seorang yang terpelajar, dijemput dan ditahan di tempat yang tidak diketahui ketika Bre berusia delapan tahun, masih duduk di bangku sekolah dasar. Sejak penjemputan paksa itu, ia tidak pernah lagi bertemu dengan ayahnya. Keluarganya kemudian menjadi bulan-bulanan teror masyarakat sekelilingnya. Bre pun tumbuh menjadi laki-laki pemalu dan cenderung minder.
Selanjutnya, kehidupan keluarganya sepenuhnya ditopang oleh ibunya, Yutinem. Berkat upaya ibunyalah, Bre dapat berkenalan dengan majalah Horison, Prisma, MIDI, dan sebagainya. Kegemarannya membaca mengantarkannya pada minat yang kuat untuk menulis, sebuah dunia karang-mengarang.
Pendidikan sekolah dasarnya di SD Kanisius (1970) dan SMP Negeri 2 (1973) diselesaikan di kota kelahirannya, Salatiga, Jawa Tengah. Kemudian, ia melanjutkan ke STM Kristen Klaten. Setelah tamat STM, Bre, berkuliah di jurusan Bahasa Inggris, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Waktu kuliah ia berkenalan dengan dunia jurnalistik dan ia aktif di pers mahasiswa Gita Mahasiswa. Ketika duduk di bangku kelas 2 STM, Bre Redana mulai mengirim tulisannya ke media massa cetak. Saat itu, medio 1975, ia mengirim karangan fiksi tentang cinta pertama ke majalah Detektif & Romantika. Sewaktu menjadi mahasiswa, ia rajin menulis untuk pers di kampusnya. Karangannya juga dikirim ke harian Kompas, tetapi tidak ada satu pun yang diterima. Namun, di Sinar Harapan dan Merdeka tulisannya banyak dimuat.
Namun, baru saja lulus sarjana muda dari Satya Wacana, tahun 1981, Bre Redana diterima sebagai wartawan di harian Kompas yang sebelumnya tidak pernah menerima satu pun tulisannya. Sebagai jurnalis pemula, Bre Redana ditempatkan di bagian yang menangani ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Selanjutnya ia pindah ke bagian kota, olahraga, dan luar negeri, sampai akhirnya bertugas di bagian yang mengelola kolom budaya.
Baginya, sangat menyenangkan menangani kolom budaya yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Sejak anak-anak Bre Redana memang sangat dekat dengan kesenian tradisi, seperti kethoprak, tarling, dan tayub. Ia pernah mengatakan, “Kalau saya menonton atau menulis hal itu lagi, saya seperti merasa kembali ke mata air saya lagi.”
Tahun 1990-1991 Bre Redana mengikuti kuliah kajian media di Darlington College of Tehnology, Inggris. Fokus tulisan Bre beralih ke masalah sosial di seputar kehidupan masyarakat Jakarta, seperti gosip artis, tren body shop, sampai toko mewah Mark and Spencer.
Tulisannya dikemas dalam laporan kerja jurnalistik yang dapat dibaca oleh berbagai kalangan. Bre Redana melihat pekerjaan jurnalistiknya bukan sekadar sumber pendapatan, melainan juga merupakan panggilan. “Saya menghayati pekerjaan jurnalistik. Saya merasa ada dimensi yang sakral dari pekerjaan menulis ini.”
Ketika pada 1980-an rezim Suharto mengangkat isu ‘bersih lingkungan’, ia dinyatakan termasuk sebagai orang yang ‘tidak bersih’. Bre Redana pun terpukul.
Akan tetapi, ia tidak menjadi patah arang. Ia terus mencari strategi lain untuk tetap dapat menulis. Sebagai jurnalis, ia sangat menghayatinya. Di mana pun berada, ia berusaha masuk sedalam-dalamnya, tetapi tetap ada jarak. “Karena dengan berjarak, kita bisa tetap kritis,” ujarnya.
Ia menggemari pencak silat. Ia telah mendalaminya selama lebih dari lima belas tahun.
Membaca, termasuk membaca novel, sudah menjadi rutinitas harian. Setiap pagi ia jarang membaca koran. Biasanya Bre membaca buku yang agak serius. Ia sangat mengagumi Umber Echo, esais kelas dunia. Mungkin tulisan Bre terpengaruh oleh ide esais itu. “Echo sebagai seorang pemikir bisa menghasilkan esai yang mampu menjelaskan problem yang ada di masyarakat dengan sangat bagus dan disampaikan dengan sangat ringan,” tuturnya.
Cita-citanya yang masih belum tercapai adalah menghasilkan sebuah karangan dari genre yang lain. “Saya ingin menulis novel,” katanya tentang keinginan yang hendak ia capai.
Ia merindukan mempunyai waktu khusus. Pekerjaan jurnalistik sangat sibuk. Sehingga, menurut Bre, membuat kreativitasnya mandek. Kompas akan menjadi tempat perhentian akhir karier Bre Redana. Ia tidak mempunyai keinginan untuk bertualang kerja di tempat lain. “Setelah di Kompas saya nggak mau kerja di mana-mana lagi. Saya ingin pensiun, lalu menulis,” menurutnya.
Potret Manusia Sebagai Si Anak Kebudayaan Massa (2002)