Armijn Pane
Armijn Pane juga bernama Ammak, Ananta, Anom Lengghana, Antar Iras, AR., A.R., Ara bin Ari, dan Aria Indra. Nama itu ia gunakan dalam majalah Pedoman Masyarakat, Poedjangga Baroe, dan Pandji Islam. Di samping itu, ia mempunyai nama samaran Adinata, A. Jiwa, Empe, A. Mada, A. Panji, dan Kartono. Ia dilahirkan tanggal 18 Agustus 1908 di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Ia adalah anak ketiga dari delapan bersaufara. Ayahnya Sutan Pangurabaan Pane adalah seorang seniman daerah yang telah berhasil membukukan sebuah cerita daerah berjudul Tolbok Haleoan. Selain sebagai sastrawan, ayah Armijn Pane juga menjadi guru. Armijn Pane dan adik bungsunya, Prof. Dr. Lafran Pane yang menjadi sarjana ilmu politik yang pertama, juga mewarisi bakat ayahnya sebagai pendidik. Armijn Pane menjadi guru Taman Siswa dan Lafran Pane adalah Guru Besar IKIP Negeri Yogya dan Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Ayah Armijn Pane juga seorang aktivis Partai Nasional pada masa Pergerakan Nasional di Palembang. Hal itu menyiratkan bahwa ayah mereka termasuk golongan yang cinta tanah air. Rasa cinta terhadap tanah air ini juga diwariskan kepada anaknya, baik Armijn Pane, Sanusi Pane, maupun Lafran Pane. Pada Armijn Pane hal itu dapat kita lihat dalam sajaknya Tanah Air dan Masyarakat dalam Gamelan Djiwa, bagian dua. Sayang sekali, ayahnya telah mengecewakan Armijn Pane karena ia menikah lagi dengan wanita lain. Kekecewaan itu terus berbekas sampai akhir hayatnya.
Armijn Pane meninggal dunia pada hari Senin, tanggal 16 Februari 1970, pukul 10.00, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dalam usia 62 tahun. Ia mengalami pendarahan otak dan tidak sadarkan diri selama dua hari. Ia diserang pneumonic bronchiale. Tempat peristirahatannya yang terakhir ada di pemakaman Karet, Jakarta, berdampingan dengan makam kakaknya, Sanusi Pane, yang meninggal satu tahun sebelumnya.
Armijn Pane meninggalkan seorang istri dan seorang anak angkatnya berusia enam tahun yang pada saat ia meninggal beralamat di Jalan Setia Budi II No. 5 Jakarta.
Armijn Pane mengawali pendidikannya di Hollandsislandse School (HIS), Padang Sidempuan dan Tanjung Balai. Kemudian, ia masuk Europese Lagere School (ELS), yaitu pendidikan untuk anak Belanda di Sibolga dan Bukittinggi. Pada tahun 1923 ia menjadi studen stovia (sekolah kedokteran) di Jakarta. Namun, ia tidak melanjutkannya. Tahun 1927 ia pindah ke Nederlands-Indische Artsenschool (Nias) ‘sekolah kedokteran’ (Nias) yang didirikan tahun 1913 di Surabaya.Jiwa seninya tidak dapat dikendalikan sehingga ia masuk ke AMS bagian AI Jurusan Bahasa dan Kesusastraan di Surakarta hingga tamat tahun 1931.
Ia juga menjadi guru bahasa dan sejarah di perguruan Taman Siswa di Kediri dan di Jakarta. Oleh karena itu, salah seorang tokoh Taman Siswa, Pak Said, atas nama seluruh warga Taman Siswa menyampaikan penghargaan atas jasa almarhum dalam upacara pemakamannya.
Pengalamannya sebagai studen kedokteran (Stovia) di Jakarta dan Surabaya melatarbelakangi ciptaannya yang tokohnya seorang dokter, seperti dr. Sukartono, dalam novel Belenggu dan dr. Abidin dalam drama Antara Bumi dan Langit. Dalam kedua cerita itu tidak tampak hal-hal yang mendasar ilmu kedokteran yang dimiliki tokoh karena yang ditonjolkan perilaku tokoh dokter. Hal itu mungkin disebabkan ia pernah bersekolah di kedokteran, tetapi tidak tamat, sehingga ia tidak menghayati segala hal yang berhubungan dengan ilmu kedokteran. Armijn Pane tidak tertarik oleh dunia kedokteran, tetapi tertarik dunia seni. Untuk itu, ia mampu menamatkan pendidikannya di AMS AI (Jurusan Kebudayaan Timur) di Solo.
Tahun 1949 Armijn Pane kembali ke Jakarta dari pengungsiannya di Yogyakarta. Setibanya Armijn Pane di Jakarta, ia masuk di bidang penerbitan. Armijn Pane mengasuh majalah Indonesia yang berisi 124 halaman sejak Februari 1955 bersama Mr. St. Moh. Syah dan Boeyoeng Saleh. Armijn menulis Produksi Film Cerita di Indonesia setebal 112 halaman dalam majalah itu. Di samping itu, ia juga memimpin majalah Kebudayaan Timur yang dikeluarkan oleh kantor Pendidikan Kebudayaan.
Di dalam dunia sandiwara, ia merupakan anggota terkemuka gabungan usaha sandiwara Jawa, di samping sebagai Ketua Muda Angkatan Baru, perkumpulan seniman di kantor kebudayaan itu. Ia memulai kariernya sebagai pengarang dan sastrawan ketika ia menjadi wartawan dan sebagai guru di Pendidikan Taman Siswa. Ia pernah mengajar bahasa dan sejarah di Sekolah Taman Siswa di Kendiri, kemudian di Jakarta.
Kariernya dalam bidang penerbitan dirintis di Balai Pustaka, sebagai pegawai. Tahun 1936 Armijn diangkat menjadi redaktur. Pada zaman Jepang ia menjabat Kepala Bagian Kesusastraan di Pusat Kebudayaan Jakarta. Di samping itu, tahun 1938 ia menjadi Sekretaris Kongres Bahasa Indonesia. Ia juga merupakan penganjur Balai Bahasa Indonesia dan di zaman Jepang ia menjadi anggota komisi istilah.
Dalam dunia organisasi kebudayaan/kesastraan, Armijn Pane juga aktif. Ia menjadi Sekretaris Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). Selanjutnya, ia menjadi anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) setelah tahun 1950. Dalam penerbitan, Armijn Pane tidak hanya berkecimpung dalam majalah Pujangga Baru, tetapi juga menjadi anggota dewan redaksi majalah Indonesia. Dalam dunia film, Armijn aktif sebagai anggota sensor film (1950—1955).
Atas jasanya dalam bidang seni (sastra), ia memperoleh Anugerah Seni dari pemerintah tahun 1969.
Dalam menjalani tugasnya, baik di zaman Belanda, zaman Jepang, maupun zaman republik, Armijn sering menyaksikan hal yang tidak beres yang menusuk hati nuraninya. Ketika ia menjadi Kepala Bagian Kesusastraan di Pusat Kebudayaan, atasannya, orang Jepang, menunjukkan majalah yang bersisi berita tentang dilancarkannya armada Jepang oleh armada Sekutu di sekitar Morotai. Jepang meminta Armijn agar membuat beritanya. Karena Armijn seorang yang polos, jujur, dan tidak pernah mengubah fakta, dibuatnya laporan. Akibatnya, ia harus berhadapan dengan kempetai sehingga ia menderita lahir dan batin akibat perlakukan kasar kempetai yang kemungkinan ingin menguji keberpihakan Armijn. Hal itu merupakan salah satu pengalaman pahitnya yang menyebabkan dirinya terkena pukulan batin terus-menerus dalam pekerjaannya.
Dalam sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia, Armijn terkenal sebagai salah seorang pelopor pendiri majalah Pujangga Baru tahun 1933. Mulai tahun 1933—1938 ia menjabat sekretaris redaksi majalah itu. Novelnya, Belenggu, sebelum diterbitkan sebagai buku, dimuat dalam majalah Pujangga Baru. Prof. Dr. Teeuw menyatakan bahwa Armijn Pane adalah pelopor Angkatan 45. Akan tetapi, Dr. H.B. Jassin menyangkalnya karena, baik dalam prosa maupun puisi, terlihat gaya impresionistis, terutama sajaknya. Dalam novelnya Belenggu ditemukan gaya romantis sehingga tampak suasana yang diliputi perasaan yang terayun-ayun serta pikiran yang menggembirakan dan menyedihkan silih berganti. Padahal, Angkatan 45 banyak menunjukkan karya yang bergaya ekspresionistis. Dengan demikian, Dr. H.B. Jassin menyanggah pendapat Prof. Teeuw.
Karya Armijn Pane memperlihatkan adanya pengaruh Noto Soeroto, Rabindranath Tagore, Krisnamurti, dan pelajaran teosofie. Gerakan kesusastraan sesudah tahun 1880 di negeri Belanda tampak juga memengaruhi karyanya. Armijn Pane adalah pengarang yang berpendirian kukuh. Ia mengibaratkan keyakinannya seperti pohon beringin. Hal itu diungkapkannya pada pengantar novelnya, Belenggu, “kalau keyakinan sudah menjadi pohon beringin, robohlah segala pertimbangan yang lain.” Terhadap novelnya, kritikus sastra Indonesia, Dr. H.B. Jassin mengatakan bahwa Belenggu merupakan karya sastra modern Indonesia yang pertama menggambarkan kehidupan kaum intelektual sebelum perang.
Di dalam menulis sajak, Armijn Pane berhasil mengumpulkan sajaknya di dalam dua kumpulan Jiwa Berjiwa yang menurut tafsiran Ayip Rosidi berarti jiwa yang hidup. Kumpulan lain berjudul Gamelan Djiwa yang jika dilihat artinya, gamelan berarti alat musik atau bunyi-bunyian. Jadi, gamelan jiwa dapat diartikan bunyi atau suara batin, yaitu suara batin penulis yang menyuarakan cinta, yaitu cinta sebagaimana lazimnya anak muda, cinta tanah air, cinta Tuhan, dan cinta sastra. Sampai pada saat terakhir, cinta pada sastra ternyata masih tetap kuat. Ceramahnya mengenai sastra di Taman Ismail Marzuki sebulan sebelum ia meninggal membuktikan cintanya pada sastra. Ceramahnya itu berjudul “Pengalaman Batin Pengarang Armijn Pane”.
Dalam ceramah itu ia mengungkapkan pengalamannya yang berkaitan dengan kepengarangannya dan masalah angkatan, seperti dinyatakan dalam pikirannya mengenai (1) “Mengapa Aku Rela dan Ikhlas Jadi Pengarang”, (2) “Bagaimana Aku Memperbaharui Kerelaan dan Keikhlasanku sebagai Pengarang di Zaman Sekarang ”, (3) “Sikap Hidup Bagi Pengarang”, (4) “Struktur Mengarang Fase-Fase Mengarang”, (5) “Pengarang Keagamaan dan Pengarang Nasional”, (6) “Apa yang Perlu Kita Dapat dari Pengarang-Pengarang Luar Negeri”, (7) “Apakah Pengarang Manurut Pendapat Pengarang”, dan (8) “Serba Sedikit Tentang Angkatan”. Armijn mengakui bahwa kepengarangannya banyak didorong oleh kesadaran kebangsaannya. Ia juga mengatakan bahwa saat itu sedang menyiapkan roman yang ketiga. Akan tetapi, roman itu tidak muncul.
Tentang kekhasan Indonesia dalam dunia kepengarangan, ia menganjurkan agar pengarang Indonesia mendapatkan kekhasan Indonesia. Akan tetapi, tidak berarti pengarang Indonesia dilarang mencontoh pengarang asing, bahkan ia menganjurkannya asal tidak melakukan plagiat. Mengenai karya sastra yang lahir tahun 1920—1930, bahkan sampai sekarang, Armijn berpendapat bahwa Angkatan 1920—1930 mempunyai pengabdian. Angkatan Pujangga Baru memiliki tanda pro pada yang baru, dinamis, anti yang fanatik, dan anti yang naif. Angkatan 45 memiliki tanda sebagai pejuang, Angkatan 50 mengemukakan masalah sosial, dan Angkatan terbaru memperlihatkan aksi.
a. Puisi
1. Gamelan Djiwa (Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, Jakarta, 1960)
2. Djiwa Berdjiwa (Balai Pustaka, Jakarta, 1939)
b. Novel
Belenggu (Dian Rakyat, Jakarta, 1940)
c. Kumpulan Cerpen
1. Djinak-Djinak Merpati (Balai Pustaka, Jakarta, 1940)
2. Kisah Antara Manusia (Balai Pustaka, Jakarta, 1953)
d. Drama
“Antara Bumi dan Langit” (Pedoman, Jakarta, 1951)