Sihir Balada Rendra

Tegangan di Antara Keaksaran dan Kelisanan

Pembuka

Teks, sebagaimana artinya, dapat diandaikan sebagai hasil menenun benang-benang gagasan. Sebuah benang gagasan mengambil bentuk dalam satuan kebahasaan kalimat. Oleh karena itu, dalam  tulisan ini akan dibahas (1) bagaimana satuan kebahasaan kalimat dapat membangun teks, terkhusus kode teks bergenre puisi balada; (2) bagaimana kode teks puisi balada dalam kesatuan gagasan (kohesi) dan kepaduan makna  (koherensi) antarsatuan kebahasaan kalimat membangun struktur narasi yang khas; dan (3) bagaimana struktur  narasi yang  khas dapat menggambarkan arus kesastraan dalam konteks sosial-budaya.

Untuk itu, objek pembahasan dalam esai ini akan dibatasi pada puisi-puisi karya W.S. Rendra (WSR) dalam kumpulan puisi Ballada Orang-Orang Tercinta (BOT). Dengan analisis kalimat dan transformasinya ini, kita mendapat gambaran bahwa teks puisi—yang juga akan memiliki kekhasan—dapat menggambarkan kecenderungan wawasan estetis yang khas. Selanjutnya, wawasan estetis juga dapat dianggap sebagai respons atas konteks sosial dan budaya semasa dan lintas masa.

Kode Larik dan Bait

Satuan kebahasaan kalimat mendapat perluasan sampai ke tingkat satuan kebahasaan paragraf dan wacana.  Namun, kalimat juga menandai seseorang yang sudah menggunakan tanda bahasa untuk menyampaikan gagasannya. Oleh karena itu, dapatlah dianggap bahwa kode bahasa sebagai seperangkat pengetahuan tentang ketatabahasaan memungkinkan kalimat berterima oleh mitra bicaranya. Dengan demikian, kalimat menjadi satuan kebahasaan terkecil pembangun teks puisi 

Selanjutnya, kita dapat membuat penggolongan ragam kalimat sebagai kode bersama dalam berkomunikasi. Setidaknya, jika ditimbang dari situasi komunikasi, kita dapat menggolongkannya ke dalam kalimat baku (situasi formal) dan nonbaku (situasi bercakap-cakap). Sementara itu, secara teknis, kalimat dapat dibentuk ke dalam kalimat aktif dan kalimat pasif; kalimat simpleks dan kalimat kompleks; kalimat versi dan kalimat inversi; kalimat mayor dan kalimat minor; kalimat langsung dan kalimat tidak langsung; serta kalimat berita, pertanyaan, dan perintah.

Kita akan mencoba melihat kekhasan teks puisi yang ditulis oleh W.S. Rendra (WSR) dalam buku kumpulan puisi Ballada Orang-Orang Tercinta (BOT) melalui satuan kebahasaan kalimat. Buku kumpulan puisi tersebut mewakili awal kepenyairan Rendra. Buku yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya (1957) itu memuat 18 puisi, yakni (1) “Ballada Kasan dan Patima”, (2) “Ballada Lelaki-Lelaki Tanah Kapur”, (3) “Ballada Petualang”, (4) “Ballada Lelaki yang Luka”, (5) “Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo”, (6) “Gerilya”, (7) “Tahanan”, (8) “Ballada Penyaliban”, (9) “Ballada Ibu yang Dibunuh”, (10) “Ada Tilgram Tiba Senja”, (11) “Tangis”, (12) “Anak yang Angkuh”, (13) “Ballada Gadisnya Jamil, Si Jagoan”, (14) “Di Meja Makan”, (15) “Ballada Penantian”, (16) “Ballada Anita”, (17) “Perempuan Sial”, dan (18) “Ballada Sumilah”.

            Untuk mengelompokkan kode teks yang terdapat dalam puisi-puisi BOT, kita dapat menentukan satuan kebahasaan terkecil pembangun teks puisi, yakni kalimat yang bertransformasi menjadi larik sebagai hasil dari pemenggalan baris. Selain itu, kohesi dan koherensi antarlarik membangun kode teks puisi yang dikenal dengan istilah bait.

1. Kode Larik

            Larik menjadi kode teks puisi yang menandai gagasan. Larik mengambil bentuk konvensional seperti terbaca dalam satu larik pada bait pertama dan tiga larik pada bait kedua puisi “Ballada Kasan dan Patima” berikut ini.

(Bait I)
Bila bulan limau retak merataplah Patima perawan tua

(Bait II)
Lari ke makam tanah mati
buyar rambutnya sulur rimba
di tangan bara dan kemenyan

Kedua bait pertama dapat dianggap sebagai pernyataan yang menggambarkan ujaran aku larik puisi. Fungsi kedua bait itu memberi gambaran pembuka atas sosok Patima.

Larik-larik konvensional seperti itu terbaca dalam semua puisi yang berfungsi sebagai pernyataan aku larik puisi. Larik-larik konvensional terbaca utuh dalam puisi “Ballada Lelaki yang Luka”, “Gerilya”, “Ballada Ibu yang Dibunuh”, “Tangis”, “Anak yang Angkuh”, “Ballada Penantian”, dan “Ballada Anita”,

Namun, dalam bait ketiga puisi “Ballada Kasan dan Patima” terdapat perubahan. Larik berubah dalam bentuk ujaran tokoh dengan penanda suprasegmental, yakni tanda seru (!) dan tanda titik dua (:) pada larik kesatu, seperti terbaca berikut ini.

(Bait III)
Patima! Patima:
susu dan mata padat sihir
lelaki muda sepikan pinangan
dipanasi ketakutan guna-guna

Dalam larik kesatu terbaca ungkapan Patima!. Ungkapan itu dapat dianggap sebagai pernyataan aku larik puisi yang menyeru tokoh Patima. Lalu, terbaca pernyataan Patima: yang menandai bahwa tokoh Patima berujar. Larik kedua, ketiga, dan keempat menggambarkan ujaran tokoh Patima meskipun tidak memakai penanda petikan langsung (“…”).

            Struktur teks pada bait keempat makin kompleks. Pada bait tersebut ditemukan ujaran aku larik puisi dan tokoh Patima dalam dialog dengan penanda suprasegmental tanda hubung (-), seperti terbaca berikut ini.

(Bait IV)
mendukung muka kalap tengadah ke pusat kutuk:
- Duh, bulan limau emas, jejaka tampan
desak-desakkan wajahmu ke dadaku rindu
biar pupus dendam yang kukandung
panas bagai lahar, bagai ludah mentari.
- Patima yang celaka! Patima!
duka apa, siksa apa?
- Peri-peri berapi, hantu-hantu kelabu
himpun kutuk, sihir dari angin parang telanjang
dan timpakan atas kepala Kasan!
- Akan rontok asarn dan trembesi berkembang
kerna Kasan lelaki bagai lembu, bagai malam
dosa apa, laknat apa?
- Perihnya, perihnya! Luka mandi cuka
Kasan tinggalkan daku, meronta paksaku
terbawa bibirnya lapis daging segar mentah
penghisap kuat kembang gula perawan. 

Meskipun tidak menyertakan tanda baca petikan langsung, larik yang menyertakan tanda hubung (-) dapat dianggap sebagai transformasi larik konvensional ke bentuk larik ujaran tokoh. Bentuk larik seperti itu selain ditemukan di puisi “Ballada Kasan dan Patima”, ditemukan pula dalam puisi “Ballada Lelaki-Lelaki Tanah Kapur”, “Ballada Petualang”, “Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo”, “Tahanan”, “Ballada Penyaliban”, “Ada Tilgram Tiba Senja”, “Ballada Gadisnya Jamil, si Jagoan”, “Di Meja Makan”, “Perempuan Sial”, dan “Ballada Sumilah”.

Dari hasil analisis atas larik puisi-puisi BOT, terdapat dua jenis larik, yakni larik konvensional dan larik ujaran tokoh. Kedua jenis larik itu membangun karakteristik teks puisi balada. Kedua jenis larik tersebut dimanfaatkan oleh WSR untuk membangun bait puisi. Tabel 1 berikut ini memuat sebaran kedua jenis larik tersebut.

Tabel 1
Larik Konvensional dan Larik Ujaran Tokoh dalam Puisi-Puisi BOT


2. Kode Bait

Pada subbagian ini kita akan mencoba menemukan model bait yang terdapat dalam buku BOT. Analisis model larik menjadi dasar kita untuk dapat menemukan kecenderungan model bait dalam buku tersebut.

Dalam puisi “Ballada Petualang”, penanda suprasegmental yang berupa tanda hubung (-) ditambah dengan penanda lain untuk membedakan ujaran tokoh lain sebagai mitra bicara. Saya kutip utuh dua bait pertama puisi tersebut. 

(Bait I)
- Masihkah berair sumur yang tua?
+ Ya manis, ya - - -
- Apakah kakak sudah dipinang?
+ Ya manis, ya ya - -

(Bait II)
Dua gagak terbang di muka.
Dengan tatapan mata jauh
ia berjalan mengulum kata.

Kedua bait tersebut disusun dengan konsisten dari larik yang berbeda. Pada bait pertama, larik-larik yang disusun berisi dialog. Sementara itu, pada bait kedua larik-larik disusun dengan menggunakan larik konvensional.

            Sementara itu, model bait yang paling sering terbaca terdapat dalam bait campuran kedua model tersebut. Artinya, dalam bait terdapat kombinasi larik konvensional dan larik ujaran tokoh. Sebagai contoh, saya sertakan bait ketiga puisi “Ballada Sumilah”

...

Sumilah!
Rintihnva tersebar selebar tuiuh desa
dan di ujung setiap rintih diserunya
- Samijo! Samijo!

Dengan demikian, dalam buku BOT terdapat tiga jenis bait, yakni bait konvensional, bait ujaran tokoh, dan bait campuran. Ketiga model bait itu digunakan dalam berbagai puisi secara dinamis oleh WSR untuk mendukung tematik buku, yakni Ballada Orang-Orang Tercinta. Sebaran ketiga jenis bait tersebut terbaca dalam Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2
Distribusi Jenis Bait dalam Puisi-Puisi BOT

 

3. Karakteristik Teks

Dari pembahasan atas kode larik dan bait dalam buku kumpulan puisi BOT karya WSR, kita mendapat jawaban atas pertanyaan pertama pada bagian pembuka esai ini, yakni bagaimana satuan kebahasaan kalimat dapat membangun teks, terkhusus kode teks bergenre puisi balada.

Hal itu menghasilkan beberapa simpulan sebagai berikut. Pertama,   pemanfaatan satuan kebahasaan kalimat terdapat larik dalam dua bentuk, yakni (1) larik konvensional yang menandai pernyataan aku larik puisi sebagai pengisah dan (2) larik ujaran tokoh yang menandai adanya kisah di balik tokoh. Kedua, terdapat tiga jenis bait hasil kohesi dan koherensi antarlarik, yakni (1) bait konvensional, (2) bait ujaran tokoh, dan (3) bait campuran.  Ketiga model bait itu dimanfaatkan secara dinamis dan diefektifkan fungsinya untuk membangun karakteristik puisi balada, yakni kisah di balik tokoh yang menjadi tema puisi balada.

Struktur Kisah BOT

Setelah dilakukan analisis atas kode larik dan bait sebagai unsur kesastraan yang membangun karakteristik teks puisi balada, pada bagian ini akan dibahas kohesi antarbait yang diikat oleh tema puisi dan koherensi antarbait yang akan diikat oleh alur atau rangkaian peristiwa. Dari analisis kohesi dan koherensi antarbait ini kita mendapat dua gambaran dua, yakni kisah dan penokohan tematis yang terdapat di dalam puisi-puisi BOT.

Kisah dan penokohan tematis dalam puisi balada dapat diidentifikasi dengan menghadirkan struktur kisah. Pada umumnya, struktur kisah menyertakan (1) bagian pembuka yang berisi abstrak (hipotesis atau kesimpulan awal) dan orientasi yang berfungsi mengenalkan tokoh dan latar; (2) bagian isi kisah atau komplikasi yang berisi pemunculan masalah (intrik), perumitan masalah (konflik), dan puncak masalah (klimaks); dan (3) bagian penutup yang berisi penyelesaian masalah (resolusi) dan koda (tesis atau simpulan akhir).

Untuk itu, kiranya diperlukan satu model analisis kohesi dan koherensi antarbait yang dapat membuktikan unsur kesastraan larik dan bait yang membangun struktur kisah dalam puisi-puisi BOT. Dalam tulisan ini akan dijelaskan satu analisis struktur kisah sebagai contoh. Puisi yang akan dibahas berjudul “Balada Anita” yang terdiri atas bait I, orientasi; bait II, komplikasi intrik; bait II, komplikasi konflik: bait IV, komplikasi klimaks; bait V, komplikasi antiklimaks; dan bait VI, resolusi.

Pada puisi tersebut terdapat struktur kisah yang utuh, yakni terpenuhi bagian pembuka, isi, dan penutup. Dalam struktur kisah, tidak terdapat abstrak pada bagian pembuka dan koda pada bagian penutup. Kehadiran bagian abstrak dan koda dalam kisah bersifat opsional. Dengan demikian, orientasi berfungsi menjadi bagian pembuka kisah dan resolusi berfungsi menjadi bagian penutup kisah.

Dapat diikhtisarkan bahwa kisah yang terbaca dalam puisi ini bermula dari ketakutan dan kenekatan tokoh dalam menghadapi masalah (bait I). Sikap yang diambil tokoh terhadap masalah tecermin dalam pemunculan masalah pada larik //... merasuk hidup jalang/ditolaknya setiap perhentian// (bait II). Masalah yang dihadapi tokoh terbaca pada larik //... /lelaki berotot mengurungnya pada cinta/yang dengan angkuh memandang ke darahnya berpacuan.// (bait III). Masalah memuncak pada pengalaman traumatis atas kekerasan seks yang terbaca pada larik //Lelaki itu memperkosanya di ladang// (bait IV). Peleraian atas puncak masalah digambarkan dengan alegori, yakni //Derai gerimis menampar muka/kutuk membalik mendera dirinya/dadanya yang subur terguncang-guncang oleh damba.// (bait V). Penyelesaian masalah dengan mengakhiri hidup terbaca pada bait terakhir // Dijatuhkannya dirinya dari menara.//.

Struktur kisah dalam puisi tersebut menandai rangkaian peristiwa atau alur. Hubungan makna kausalitas antarperistiwa membangun gagasan tematis. Tema yang tergambar dari analisis bagian-bagian kisah menarasikan tokoh yang mengalami kekerasan seksual dan mengambil penyelesaian masalah dengan mengakhiri hidup.   

Dengan begitu, analisis kisah dapat mengantarkan kita pada kisah tematis. Selain itu, analisis alur juga dapat mengantarkan kita pada penokohan yang menggambarkan karakter, sifat, dan sikap tokoh dalam menjalani dan menghadapi masalah. Dalam puisi “Balada Anita” terdapat tema ketakberdayaan masyarakat kelas bawah terhadap struktur sosial yang patriarkis, sedangkan penokohan Anita sebagai metafora kelas bawah dikisahkan mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah dengan nada sarkasme (bunuh diri). Untuk itu, berikut ini disertakan hasil analisis struktur kisah pada puisi-puisi BOT (Tabel 3).


Tabel 3
Analisis Struktur Kisah dalam Puisi-Puisi BOT

 
 

            Dari Tabel 3 di atas kita mendapatkan (1) struktur kisah lengkap dan struktur kisah taklengkap serta (2) struktur kisah sederhana dan struktur kisah kompleks. Sebagai catatan, diperlukan analisis terpisah mengenai struktur kisah kompleks dengan pendekatan lain, seperti konsep dialogisme yang ditawarkan Mikhail M. Bakhtin agar esensi tema dan penokohan dapat diidentifikasi melalui intertekstualitasnya secara detail.

            Sementara itu, analisis struktur kisah sebagai bentuk yang terlihat dapat membantu kita menjawab pertanyaan kedua pada bagian pembuka esai ini, yakni bagaimana kode teks puisi balada dalam kesatuan larik dan bait membangun struktur narasi yang khas. Dapat diikhtisarkan bahwa kisah di balik tokoh-tokoh dalam puisi-puisi BOT menyuarakan (1) domain privat aku lirik puisi dalam keluarga yang patriarkis; (2) domain publik aku lirik puisi dalam romantisisme yang berhubungan dengan masa penjajahan; dan (3) domain publik aku lirik puisi yang berhubungan dengan tanggapan atas kenyataan sosial-budaya di lingkungannya pada masa kini. Ketiga hal itu didapat dari kecenderungan tema, latar belakang tokoh, penokohan, dan resolusi atau sikap tokoh atas masalah yang dihadapi. Berikut ini disertakan tabel ikhtisarnya.

Tabel 4
Kecenderungan Tema dan Penokohan Puisi-Puisi BOT 

Tegangan Keaksaraan dan Kelisanan

            Perkembangann puisi Indonesia sesudah kemerdekaan berhubungan erat dengan keterbukaan sastrawan pada masa itu untuk bergaul dan menjadi bagian dari kesusastraan dunia. Pada masa itu pula usaha untuk menerjemahkan karya-karya sastra klasik dunia menjadi kesadaran tepermanai untuk perkembangan puisi Indonesia. Resepsi sastrawan Indonesia atas karya-karya klasik, seperti karya Dante Alighieri,  Goethe, Shakespeare, dan Hemingway telah memperkaya karakteristik puisi Indonesia sesudah kemerdekaan.

          Melalui puisi-puisi WSR, terutama dalam buku kumpulan puisi BOT, puisi balada menjadi salah satu ragam puisi modern Indonesia sesudah kemerdekaan yang populer. Penerimaan atas karya-karya sastra dunia oleh sastrawan Indonesia tersebut menandai pertumbuhan puisi baru Indonesia dalam tradisi tulis-cetak sejak 1920-an, terutama melalui sastra Barat, terkhusus sastra Belanda dan Inggris. Dengan begitu, puisi baru Indonesia memperkaya khazanah estetikanya.

          Hal itu menjadi signifikan untuk menjawab pertanyaan ketiga pada bagian pembuka esai ini, yakni bagaimana struktur  narasi yang  khas dapat menggambarkan arus kesastraan dalam konteks sosial-budaya. Selain itu, kita mengetahui bahwa WSR juga tidak hanya menulis karya sastra dalam genre puisi, drama, dan cerita pendek, tetapi juga membuat sebuah kelompok teater dan menjadi salah satu aktornya.

          Lebih lanjut, pada paruh waktu setelah 1960-an, seiring dengan masa pemerintahan Orde Baru, WSR tampil menjadi sastrawan dan dramawan yang karya-karyanya diapresiasi masyarakat luas dengan luar biasa karena mampu menyuarakan kritik sosial dengan tetap mempertahankan keindahan yang menjadi karakter karya sastra. Salah satu fenomena yang menarik adalah pembacaan puisi yang langsung dilakukan WSR.

          Karena menguasai teknik pertunjukan, pembacaan puisi WSR mampu memukau pemirsanya kala itu. Kita kemudian mengenalnya dengan istilah sihir panggung Rendra. Namun, menurut hemat saya, sihir puisi Rendra telah terjadi sebelum dipanggungkan. Yang dimaksud adalah puisi-puisi balada yang diperkenalkan WSR. Puisi-puisi balada WSR tidak hanya dipandang sebagai pembaharuan dalam perpuisian Indonesia sesudah kemerdekaan, tetapi juga dinilai sebagai senyatanya perpaduan tradisi kelisanan dan keaksaraan dalam perkembangan perpuisian Indonesia sesudah kemerdekaan.

          Beberapa alasan berikut ini dapat dijadikan pemerkuatnya. Pertama, dalam konteks sezaman, periode 1940—1960, puisi baru Indonesia berkembang dalam tradisi keaksaraan, terutama jika kita bandingkan dengan puisi-puisi Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono. Sementara itu, dalam konteks lintas zaman, kehadiran puisi-puisi Taufik Ismail, dengan buku Tirani dan Benteng, telah memperkukuh tradisi pembacaan puisi di Indonesia sebagai bagian dari kelisanan dalam kesusastraan kita.

          Kedua, kita memang tidak benar-benar dapat melepaskan diri dari tradisi kelisanan dalam sejarah perpuisian, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan. Andaian bahwa puisi ditulis untuk dibacakan menjadi relevan untuk kasus puisi balada WSR. Fenomena itu terlihat pada paruh waktu 1970-an, melalui karya puisi dan sekaligus pembacaan puisi Sutardji Chalzoum Bachri. Bahkan, sampai sekarang, masyarakat menunggu penyair membacakan puisi-puisinya, selain fenomena lomba-lomba pembacaan puisi dan musikalisasi puisi yang marak terjadi.

          Kedua alasan itu, boleh jadi, telah membangun fenomena kesusastraan kita dari teks ke konteks, dari puisi ke pertunjukan puisi, atau dari keaksaraan ke kelisanan. Dengan itu pula esai ini diakhiri dengan sebuah andaian bahwa puisi balada WSR dapat dianggap sebagai tegangan di antara kelisanan dan keaksaraan yang memendam sihir panggung sekalipun tanpa dibacakan atau dipertunjukkan di atas panggung.

Penutup

Ulasan ini masih menyisakan beberapa pertanyaan yang belum terjawab. Setidaknya, ulasan selanjutnya dapat membahas (1) kecenderungan dramatik dalam pemodelan bait-bait puisi WSR dan (2) intertekstualitas yang menyiratkan beragam suara dalam struktur kisah kompleks. Hal itu menjadi relevan karena WSR dengan sadar membingkai puisi-puisinya dalam tema balada yang berhubungan dengan kisah di balik tokoh.

Mangkubumi, 28 Juni 2022

DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. 2004. Puisi Indonesia sebelum Kemerdekaan. Cetakan III. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

-----------. 1999. Sihir Rendra, Permainan Makna. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Foulcher, Keith. 1977. “Perceptions of Modernity and the Sense of the Past: Indonesian Poetry in the 1920s Author(s)”. Indonesia, No. 23 (April, 1977),  39—58. New York: Southeast Asia Program Publications at Cornell University. (URL: http://www.jstor.org/stable/3350884)

Machyuzaar, Nizar. 2022. “Kisah Hujan Sapardi, Transisi dari Metafora ke Simbol dalam Selingkung Puisi”.

(https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/artikel-detail/3484/kisah-hujan-sapardi:-transisi-dari-metafora-ke-simbol-dalam-selingkung-puisi

--------------. 2022. “Akar dan Pohon Sastra”.

 (https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/artikel-detail/99/akar-dan-pohon-sastra)

Kridalaksana, Harimurti. 1983. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rendra, W.S. 1971. Ballada Orang-orang Tercinta. Jakarta: Djambatan.

Rosidi, Ajip. 2008. Puisi Indonesia Modern. Jakarta Pusat: PT Dunia Pustaka Jaya.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

---------, 1980. Pokok dan Tokoh dalam Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.

---------, 1994. Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya

Waluyo, Herman J. 2000. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.

Nizar Machyuzaar

*Penulis merupakan mahasiswa Magister Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Unpad. Saat ini ia sedang menyelesaikan sebuah penelitian mengenai perkembangan puisi baru Indonesia periode 1940—1960.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa